Jakarta, Mevin.ID – Bayangkan tiba-tiba Anda jatuh sakit, dan saat berobat, diberi kabar bahwa kartu BPJS Anda tak lagi aktif. Bukan karena Anda tak membayar, tapi karena nama Anda tiba-tiba “hilang” dari data pemerintah.
Inilah yang tengah dialami sekitar 7,3 juta warga Indonesia. Mereka dinonaktifkan sebagai peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI), hanya karena tidak tercantum dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN)—database baru yang kini digunakan pemerintah untuk menentukan siapa saja yang berhak mendapat bantuan sosial.
Kebijakan ini sontak menuai sorotan tajam dari Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, yang mempertanyakan akurasi dan sensitivitas keputusan tersebut.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kalau mereka dinonaktifkan karena dianggap sejahtera, pertanyaannya: seberapa valid data itu? Apakah benar-benar mencerminkan kondisi lapangan?” ujar Nurhadi dalam pernyataan tertulis, Selasa (24/6/2025).
Dari DTKS ke DTSEN: Ketika Data Menggeser Hak
Per Mei 2025, pemerintah menghentikan penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan menggantinya dengan DTSEN. Perubahan ini diatur lewat SK Menteri Sosial Nomor 80 Tahun 2025 dan Inpres Nomor 4 Tahun 2025. Imbasnya langsung terasa: jutaan masyarakat rentan kehilangan akses terhadap layanan kesehatan dasar.
Ironisnya, banyak warga mengaku tidak pernah tahu bahwa mereka akan dicoret dari daftar penerima. Sebagian bahkan baru sadar setelah mencoba mengakses layanan kesehatan dan ditolak karena status BPJS mereka sudah “nonaktif”.
“Jangan Gegabah”
Nurhadi mengingatkan bahwa dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, pemerintah seharusnya memperkuat perlindungan sosial, bukan malah menyusutkannya.
“Negara jangan gegabah mengambil keputusan yang berdampak pada hak masyarakat. Kesalahan teknis dalam pemutakhiran data bisa sangat fatal bagi rakyat kecil,” tegas legislator dari Dapil Jawa Timur VI itu.
Ia juga meminta pemerintah membuka kanal aduan yang transparan, responsif, dan mudah diakses, agar masyarakat yang terdampak bisa menyampaikan keberatan dan segera mendapatkan solusi.
BPJS Kesehatan sendiri menyebut bahwa peserta yang dinonaktifkan bisa mengajukan reaktivasi jika masih tergolong miskin atau rentan, serta memiliki kondisi medis tertentu. Namun, prosesnya cukup panjang—dimulai dari surat keterangan dari Dinas Sosial, verifikasi ke Kemensos, hingga akhirnya disetujui kembali.
DPR Akan Panggil Kemensos dan BPJS
Sebagai langkah pengawasan, Komisi IX DPR RI menyatakan akan segera memanggil pihak Kemensos dan BPJS Kesehatan untuk meminta penjelasan resmi.
“Kami ingin pastikan tidak ada satu pun warga miskin yang terlempar dari sistem jaminan sosial hanya karena tidak terdata. Kesehatan adalah hak dasar, bukan soal data semata,” pungkas Nurhadi.***