TAN Malaka bukan hanya seorang revolusioner, tetapi juga seorang pemikir yang skeptis terhadap cara kekuasaan bekerja.
Dalam magnum opusnya, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), ia mengungkap sebuah mekanisme yang kejam: penggunaan agama sebagai “obat tidur” massal bagi kaum miskin, yang secara efektif menjaga tatanan ketidakadilan ekonomi tetap utuh.
Kritik Tan Malaka tidak diarahkan pada esensi spiritual atau iman pribadi. Ia menyerang institusionalisasi dan penyalahgunaan ajaran oleh penguasa—baik itu kolonial, feodal, maupun kaum borjuis baru—untuk membenarkan eksploitasi mereka.
1. Janji di Akhirat, Kemiskinan di Dunia
Inti dari kritik ini terletak pada kompensasi spiritual yang ditawarkan. Rakyat miskin didorong untuk menerima penderitaan, kelaparan, dan ketidakadilan sebagai takdir yang harus dipikul di dunia fana.
Ajaran-ajaran tertentu diinterpretasikan untuk menanamkan kepasrahan dan kesabaran ekstrem.
Mengapa harus memberontak dan mengubah nasib? Toh, surga dan kebahagiaan abadi sudah menanti di akhirat sebagai balasan atas kesabaran di dunia.
Dengan mekanisme ini, Tan Malaka melihat agama disulap menjadi alat penenang (candu) yang sangat efektif: ia meredam hasrat untuk melawan, membunuh kesadaran kritis, dan melumpuhkan energi revolusioner rakyat.
2. Kekayaan adalah Hak Istimewa
Ironisnya, saat kaum miskin “ditenangkan” oleh janji-janji spiritual, segelintir elit kaya tetap leluasa menikmati kekayaan dan hasil kerja yang dieksploitasi dari rakyat jelata.
Sistem sosial dan politik—yang disokong oleh ideologi kepasrahan agama—secara otomatis melindungi konsentrasi kekayaan tersebut.
Penguasa dan kaum feodal tidak perlu khawatir akan pemberontakan skala besar karena rakyat telah diyakinkan bahwa penderitaan di dunia ini adalah jalan menuju keselamatan abadi.
Ini adalah simbiosis yang sinis: Kaum elit mendapatkan keuntungan materi di dunia, sementara rakyat mendapatkan janji kebahagiaan setelah mati.
3. Panggilan untuk Pembebasan Dunia Nyata
Bagi Tan Malaka, ini adalah pengkhianatan terhadap akal sehat dan prinsip keadilan. Ia menyerukan agar rakyat bangun dari tidur spiritual dan menyadari bahwa pembebasan sejati harus dilakukan di dunia nyata.
Melalui Madilog, ia mendorong penggunaan logika dan materialisme untuk menganalisis dan memperbaiki kondisi hidup saat ini.
Perjuangan bukan lagi sekadar menunggu janji di surga, tetapi memperjuangkan kesejahteraan, pendidikan, dan keadilan sosial di Bumi.
Kritik Tan Malaka ini tetap relevan hingga hari ini, terutama di tengah meningkatnya ketimpangan ekonomi.
Ia mengingatkan kita bahwa setiap ideologi—termasuk agama—berpotensi disalahgunakan oleh kekuasaan untuk mempertahankan status quo yang timpang, kecuali jika rakyat mempertahankan kesadaran kritis dan menuntut keadilan material, bukan hanya janji-janji spiritual.
Apakah kritik Tan Malaka mengenai penyalahgunaan agama untuk meredam ketidakpuasan sosial masih terasa relevan di tengah isu ketimpangan kekayaan global saat ini?***





















