Yogyakarta, Mevin.ID – Aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, disorot tajam oleh pakar ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi. Ia menilai kerusakan lingkungan akibat tambang di kawasan konservasi kelas dunia itu bisa jadi lebih parah dan lebih mahal dari skandal PT Timah Tbk yang ditaksir merugikan negara hingga Rp271 triliun.
“Kalau ini di Raja Ampat, banyak flora dan fauna langka. Kalau itu punah, tidak bisa direklamasi. Nggak bisa didatangkan lagi ikan yang mati tadi,” kata Fahmy, Rabu (11/6), saat dimintai tanggapan atas pencabutan IUP oleh pemerintah.
Fahmy menyoroti fakta bahwa Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau tropis. Ia adalah wilayah geopark dan pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Menambang di kawasan ini, menurutnya, bukan hanya merusak lanskap, tetapi juga mengancam krisis ekologi lintas generasi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kerugian Negara Bisa Lebih dari Rp300 Triliun
Merujuk pada perhitungan kerugian negara dalam kasus PT Timah—yang dilakukan oleh ahli lingkungan—kerusakan tambang ilegal di Bangka Belitung kala itu merugikan negara Rp271 triliun. Menurut Fahmy, kerusakan di Raja Ampat bisa melebihi angka itu.
“Jadi, berdasarkan kalkulasi itu, kerugian di Raja Ampat bisa lebih besar lagi. Karena nilainya bukan hanya ekonomi, tapi juga nilai ekologis yang tidak tergantikan,” tegasnya.
Kritik untuk PT GAG Nikel: ‘Reklamasi Tidak Cukup’
Meski pemerintah telah mencabut empat dari lima IUP di wilayah Raja Ampat, Fahmy menyebut langkah itu belum cukup. Ia mendorong pemerintah turut mencabut izin PT GAG Nikel (GN), perusahaan tambang yang masih aktif beroperasi di Pulau Gag, salah satu gugus pulau kecil Raja Ampat.
“Limbah tambang, terutama debu nikel yang mengandung arsenik, bisa terbawa angin hingga ratusan kilometer. Jadi alasan bahwa tambangnya jauh dari pusat konservasi itu tidak tepat,” katanya.
Fahmy juga menegaskan bahwa aktivitas tambang di pulau kecil seperti Pulau Gag melanggar UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. “Itu undang-undang yang telah ditegaskan pula oleh Mahkamah Konstitusi. Dilarang menambang di pulau kecil, titik,” ujarnya.
Sorotan: Dugaan Kongkalikong di Balik Izin Tambang
Selain menyoroti kerusakan ekologis, Fahmy juga menyinggung potensi praktik korupsi dalam pemberian izin tambang. Ia mendorong Kejaksaan Agung dan aparat penegak hukum mengusut proses perizinan lima perusahaan tambang yang sebelumnya beroperasi di Raja Ampat.
“Jangan-jangan ini ada kongkalikong, semacam KKN yang membuat izin bisa keluar di wilayah konservasi. Ini harus diusut. Kalau terbukti, harus ditindak secara pidana,” kata Fahmy.
Tambang vs Ekosistem Raja Ampat
Untuk diketahui, dari lima perusahaan tambang yang sempat mengantongi IUP di Raja Ampat, dua mendapat izin dari pemerintah pusat: PT GAG Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP). Sementara tiga lainnya—PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham—diizinkan oleh Pemerintah Daerah Raja Ampat.
Empat di antaranya kini telah dicabut izinnya oleh Presiden Prabowo Subianto, menyusul sorotan publik dan investigasi awal dari Bareskrim Polri terkait dugaan pelanggaran administratif dan pidana.
Namun, ekosistem Raja Ampat terlanjur luka. Dan untuk para ahli seperti Fahmy Radhi, reklamasi saja tidak cukup.
“Yang sudah rusak tidak bisa dikembalikan. Tapi yang bisa dicegah, ya harus dicegah sekarang,” pungkasnya.***