Bekasi, Mevin.ID — Di bawah terik matahari Kota Bekasi, suara mahasiswa kembali menggema di depan kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Spanduk bertuliskan “Air Kali Asem Cerminan Kotornya Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi” terbentang di antara puluhan massa yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa Berantas Korupsi (AMBK).
Aksi yang digelar pada Rabu (15/10/2025) itu membawa pesan yang menohok: pemerintah telah gagal menjaga hak rakyat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
“Kali Asem bukan sekadar aliran air kotor, tapi cermin dari nurani yang tercemar,” ujar Koordinator AMBK, Ade Maarif Alfarizi, lantang di tengah kerumunan.
Ia menuding Pemerintah Kota Bekasi, khususnya DLH, telah menormalisasi pencemaran dengan alasan administrasi dan prosedur izin.
“Ketika rakyat menolak pencemaran, mereka dituduh tidak paham tata kelola lingkungan. Padahal yang mereka pahami adalah bagaimana rasanya hidup dengan air beracun dan udara kotor. Ini bukan pembangunan — ini pembunuhan perlahan,” tegasnya.
Pencemaran yang Dianggap Biasa
Aksi bertajuk “Kali Asem: Air Kotor Menjadi Saksi, Hilangnya Rasa Kemanusiaan” ini berangkat dari keresahan warga Sumur Batu, yang bertahun-tahun hidup berdampingan dengan bau busuk dan air hitam akibat aktivitas industri dan pengelolaan sampah Bantargebang.
Namun yang membuat mahasiswa murka bukan hanya pencemarannya, melainkan sikap dingin birokrasi.
Saat perwakilan massa menyerahkan tuntutan, salah satu pejabat DLH menanggapi dengan enteng:
“Kali Asem itu dari dulu juga sudah kotor. Lagipula udara di Sumur Batu masih aman kok, buktinya warga masih bisa beraktivitas,” katanya sambil tertawa kecil.
Kalimat itu sontak menyulut emosi massa. Orator aksi menyebutnya sebagai bentuk arogansi pejabat dan bukti bahwa penderitaan warga dianggap remeh.
“DLH seharusnya bekerja dengan data dan empati, bukan dengan candaan,” balas mahasiswa dalam orasi lanjutan.
Lima Tuntutan, Satu Pesan: Bersihkan Hati Sebelum Bersihkan Kali
Dalam pernyataan sikapnya, AMBK menuntut:
- Evaluasi total terhadap tata kelola TPST Bantargebang dan TPA Kota Bekasi yang menyebabkan pencemaran Kali Asem dan udara Sumur Batu.
- Penolakan pemindahan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) ke depan PT. PLJB di wilayah padat penduduk.
- Pemulihan kualitas air Kali Asem melalui program terpadu bersama masyarakat dan lembaga independen.
- Penindakan hukum terhadap pelaku usaha dan pejabat yang lalai dalam pengawasan lingkungan.
- Evaluasi dan pemecatan Kepala DLH jika terbukti abai menjalankan tugas.
Jendlap aksi, Dicky Armanda, menegaskan bahwa perjuangan ini bukan hanya soal air, tapi soal masa depan manusia.
“Kami tidak menuntut air bersih untuk hari ini, kami menuntut sistem yang bersih untuk masa depan. Kami tidak membawa bom, kami membawa konstitusi. Kami tidak melempar batu, kami melempar kesadaran,” ujarnya.
Saat Sungai Menjadi Cermin Nurani
Air yang kotor bisa disaring, tapi nurani yang keruh butuh keberanian untuk dibersihkan.
Kali Asem hari ini bukan sekadar sungai — ia adalah saksi bisu betapa mudahnya tanggung jawab publik dikorbankan atas nama prosedur.
Ketika pejabat menutup hidung atas bau busuk pencemaran, rakyat justru menahan napas demi bertahan hidup.
Dan di antara teriakan mahasiswa, tersisa satu harapan sederhana: semoga suara-suara yang kian serak di jalanan itu cukup nyaring untuk menggugah hati para penguasa di balik meja — bahwa lingkungan bukan statistik, melainkan napas kehidupan itu sendiri.***
Penulis : Fathur Rachman
Editor : Pratigto




















