DI TENGAH kesadaran publik terhadap isu lingkungan dan akses air bersih, Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) tetap menjadi komoditas yang paling laku dan paling mudah diterima.
Ia menjual mitos tentang kemurnian, kealamian, dan kebaikan alam yang dikemas dengan sangat halus dan meyakinkan.
Namun, di balik citra air yang “tampak lahir dari mata air pegunungan”, terdapat persoalan struktural yang lebih dalam: komodifikasi sumber daya vital, eksploitasi ruang ekologis, dan benturan nilai dengan tradisi lokal khususnya masyarakat Sunda di kawasan hulu.
Inilah bentuk Nekolim (Neokolonialisme – Imperialisme) hari ini: bukan lagi melalui penjajahan wilayah, melainkan melalui dominasi ekonomi dan imajinasi budaya.
1. Mitos “Air Pegunungan” dan Konstruksi Realitas Konsumen
Selama puluhan tahun, iklan botor kemasan selalu saja memperlihatkan gunung hijau, kabut sejuk, dan aliran air yang “turun dari langit”.
Citra ini menciptakan keyakinan bahwa setiap botol Air Kemasan adalah air murni yang menetes langsung dari bebatuan alami.
Padahal, menurut berbagai diskusi publik, akademik, dan advokasi lingkungan, sumber air yang digunakan AMDK pada umumnya berasal dari sumur artesis dalam—air tanah yang dipompa melalui pengeboran. Citra “pegunungan” dalam iklan adalah konstruksi kultural, bukan gambaran teknis.
Ini adalah komodifikasi alam: Konsumen tidak membeli H₂O, tetapi membeli cerita tentang kemurnian.
Narasi ini membentuk hegemoni budaya: sugesti bahwa air kemasan lebih sehat, lebih “alami”, dan lebih layak dikonsumsi daripada air yang dikelola bersama.
Hasilnya, masyarakat tak lagi melihat air sebagai hak komunal, tetapi sebagai produk gaya hidup.
2. Dampak Ekologis: Privatisasi yang Menyisakan Jejak
Ketika air menjadi komoditas, logika yang berlaku berubah: yang penting bukan keberlanjutan, tetapi kelangsungan suplai bagi produksi.
Kritik dari aktivis lingkungan dan warga di berbagai daerah mengemuka pada isu berikut:
- Penurunan muka air tanah di sekitar titik pengeboran
- Mengeringnya mata air kecil yang dulu dimanfaatkan warga
- Ketergantungan masyarakat pada air kemasan
- Sampah plastik yang terus meningkat dan menjadi beban sosial
Pola ini mirip dengan industri ekstraktif: Sumber daya diambil murah, dijual mahal, sementara biaya kerusakan ditanggung masyarakat.
Ini adalah privatisasi keuntungan, sosialisasi kerugian.
3. Benturan dengan Kearifan Lokal Sunda
Dalam worldview Sunda, cai (air) bukan komoditas. Ia adalah anugerah, sumber kehidupan yang harus dijaga dengan penuh hormat.
Ada ungkapan yang sangat terkenal:
“Leuweung ruksak, cai béak, rahayat balangsak.”
(Hutan rusak, air habis, rakyat sengsara.)
Kearifan ini melihat alam secara holistik: yang rusak di hulu akan membawa petaka ke hilir. Karena itu, air dikelola bersama, bukan diprivatisasi.
Air Kemasan hadir bukan hanya sebagai pabrik, tetapi sebagai ideologi baru:
- Dari komunal menjadi individual
- Dari anugerah menjadi komoditas
- Dari menjaga alam menjadi mengeksploitasi alam secara legal
Ini adalah bentuk penjajahan nilai.
Nekolim dalam Sebotol Air
Siklusnya terlihat jelas:
- Menciptakan kebutuhan palsu melalui mitos “air paling murni”.
- Mengambil sumber daya vital dari tanah masyarakat.
- Menjual kembali air tersebut kepada rakyat dengan harga premium.
- Mengikis nilai lokal yang menjaga keseimbangan ekologis.
Pertanyaan pentingnya bukan lagi:
“Apakah Air Kemasan aman diminum?”
Tetapi:
“Siapa yang berhak atas air?”
“Siapa yang menanggung kerusakan ekologinya?”
“Nilai mana yang akhirnya kita pertahankan?”
Karena pada akhirnya, perjuangan ini bukan hanya tentang air.
Ini adalah pertarungan antara logika hidup yang menyeimbangkan
dan logika kapital yang mengambil sampai habis.***
Rakean “Apachiel” Djayakusumah, Aktivis Lingkungan Asal Bandung





















