Jakarta, Mevin.ID – Kawasan Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, diselimuti misteri menyedihkan. Pada Kamis pagi, 2 Oktober 2025, warga digegerkan oleh penemuan jasad seorang terapis spa berinisial RTA.
Kematiannya, yang diduga kuat akibat terjatuh dari ketinggian, membuka tabir kelam dugaan eksploitasi anak dan tekanan kerja yang berat di balik industri jasa kebugaran Ibu Kota.
Kronologi Tragis di Pagi Buta
Jasad RTA ditemukan tergeletak tak bernyawa di sebuah lahan kosong di belakang gedung jasa ekspedisi, dekat mess tempatnya menginap.
Penemuan ini terjadi sekitar pukul 05.00 WIB, oleh pekerja yang kebetulan melintas.
Saat ditemukan, korban yang mengenakan baju abu-abu sudah dalam kondisi kotor. Pemeriksaan awal menemukan adanya luka lecet di beberapa bagian tubuh, seperti lengan, perut, dan dagu.
Di sekitar lokasi, polisi juga menemukan barang milik korban, termasuk selendang dan dompet yang berisi dua unit ponsel.
Penyelidikan polisi menemukan fakta krusial: adanya jejak kaki yang diduga kuat milik RTA di atap dan sepanjang dinding gedung sebelah tempatnya bekerja.
Jejak ini memperkuat dugaan bahwa korban berusaha kabur dari mess sebelum akhirnya terjatuh—atau melompat—dari ketinggian.
Kapolsek Pasar Minggu, Kompol Anggiat Sinambela, menyatakan, “Kami menemukan jejak kaki korban di sepanjang gedung sebelah, dan dugaannya sementara adalah dia jatuh atau melompat. Kami masih menunggu hasil autopsi untuk memastikan penyebab pasti kematiannya.”
Curhatan Pilu dan Dugaan Eksploitasi Anak
Misteri semakin dalam ketika keluarga korban angkat bicara. Kakak RTA, F, mengungkapkan bahwa adiknya masih berusia sangat muda, yakni 14 tahun, jauh di bawah batas usia minimum pekerja.
Padahal, RTA baru sekitar setahun bekerja dan baru sebulan dimutasi ke cabang spa di Pejaten dari Bali.
“Umurnya baru 14 tahun. Dulu banyak yang melarangnya bekerja jauh, tapi adik saya tetap ingin mandiri,” ujar F dengan nada sedih.
Lebih mengejutkan lagi, F membeberkan curahan hati adiknya yang merasa tertekan dengan kondisi kerja yang dinilai memprihatinkan.
RTA diduga digaji sangat kecil dan merasa tidak betah. Puncak tekanan adalah ketika RTA sempat mengirim pesan terakhir yang mengungkap adanya syarat berat bagi terapis yang ingin berhenti kerja.
Isi pesan itu menyebutkan, “Kalau mau pulang harus ada uang jaminannya 50 juta kalau belum 1 tahun.”
Kisah pilu ini mendorong pihak keluarga untuk melayangkan laporan resmi kepada kepolisian atas dugaan eksploitasi anak terhadap RTA oleh pihak perusahaan spa.
Titik Terang yang Masih Dinanti
Hingga saat ini, polisi telah memeriksa sedikitnya 15 saksi, termasuk manajer spa tempat RTA bekerja. Manajer spa dicecar dengan pertanyaan mengenai jam kerja, gaji, hingga motif korban yang diduga ingin kabur.
Selain itu, pihak kepolisian juga berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) untuk memastikan identitas dan usia asli korban, mengingat adanya perbedaan data yang ditemukan di lapangan.
Kasus kematian RTA bukan hanya sekadar berita kriminal biasa, tetapi juga sorotan tajam terhadap pengawasan terhadap praktik ketenagakerjaan, terutama yang melibatkan anak di bawah umur.
Pihak berwenang kini dituntut untuk mengungkap motif di balik upaya kabur RTA dan memastikan apakah ada tindak pidana eksploitasi yang tersembunyi di balik gemerlap usaha spa di Jakarta.
Masyarakat dan keluarga korban kini menanti hasil autopsi dan penyelidikan yang diharapkan mampu menyingkap kebenaran, sekaligus memberikan keadilan bagi RTA, terapis remaja yang mengakhiri hidupnya dengan tragis di tanah perantauan.***





















