Bandung, Mevin.ID – Sekitar 100 orang warga menggelar aksi unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri (PN) Bale Bandung, Jalan Jaksanarata, Baleendah, Kabupaten Bandung, Rabu (23/7/2025). Aksi ini dipicu kematian tragis seorang santri berinisial AN (14), yang diduga menjadi korban pembunuhan di lingkungan Pondok Pesantren Ar-Rohman, Kecamatan Ibun.
Massa yang terdiri dari keluarga, kerabat, dan warga Kecamatan Solokanjeruk mulai memadati kawasan PN Bale Bandung sejak pukul 10.00 WIB. Mereka membawa puluhan poster dan spanduk bertuliskan #KeadilanUntukAhmad, lengkap dengan foto-foto mendiang AN, sebagai simbol tuntutan terhadap proses hukum yang mereka nilai janggal.
Kronologi Peristiwa
Kematian AN terjadi pada Rabu dini hari, 5 Maret 2025 sekitar pukul 01.30 WIB. Berdasarkan versi yang beredar, AN diduga melakukan penyerangan terhadap seorang santriwati berinisial F (20) menggunakan senjata tajam jenis cerulit.
Setelah kejadian, AN disebut melarikan diri, namun kemudian diamankan dan dibawa ke rumah sakit. Santri lain berinisial F (23) yang mengaku menyaksikan peristiwa itu menyerahkan diri ke Polsek Ibun dan memberikan keterangan. Namun, AN akhirnya meninggal dunia dalam perawatan.
Namun versi ini dibantah oleh keluarga korban. Mereka menilai kronologi yang disampaikan sepihak dan tidak sesuai dengan bukti medis. Luka-luka yang ditemukan di tubuh AN seluruhnya berada di bagian belakang, menunjukkan bahwa korban kemungkinan besar dalam posisi tidak melawan.
Keluarga Soroti Kejanggalan
Koordinator aksi, Rusli Hermawan, menyatakan bahwa banyak kejanggalan terjadi sejak awal penanganan kasus ini. Ia menilai penerapan pasal oleh aparat penegak hukum tidak mencerminkan keadilan, mengingat usia korban masih di bawah umur dan pelaku adalah orang dewasa berusia 25 tahun.
“Pasal yang dikenakan hanya Pasal 351 ayat (3) tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa. Padahal pelaku adalah anak pemilik pesantren dan usianya 25 tahun,” ujarnya.
Keluarga menuntut agar pelaku dijerat dengan pasal pembunuhan berencana dan Undang-Undang Perlindungan Anak, mengingat posisi korban sebagai santri yang masih berusia 14 tahun.
Tidak Dilibatkan Dalam Rekonstruksi
Selain soal pasal yang dinilai ringan, keluarga juga memprotes karena tidak dilibatkan dalam rekonstruksi kejadian. Mereka tidak mendapatkan pemberitahuan resmi dari pihak kepolisian terkait pelaksanaan reka ulang peristiwa.
“Rekonstruksi dilakukan tanpa kehadiran keluarga maupun kuasa hukum kami. Tidak ada kesempatan untuk melihat bagaimana kejadian sebenarnya direka ulang,” ungkap Rusli.
Dugaan Relasi Kekuasaan
Keluarga mencurigai adanya relasi kekuasaan yang memengaruhi jalannya proses hukum. Hal ini didasarkan pada status pelaku yang merupakan anak dari pemilik pondok pesantren.
“Ada dugaan kuat bahwa relasi kuasa digunakan untuk menutupi kebenaran. Narasi yang muncul berasal dari pesantren, tanpa saksi kunci dan tanpa kejelasan fakta,” tegas Rusli.
Aksi ini digelar bersamaan dengan bergulirnya perkara di PN Bale Bandung dengan Nomor Perkara 669/Pid.Sus/2025/PN Blb. Keluarga menyatakan akan terus mengawal kasus ini hingga keadilan benar-benar ditegakkan.***




















