Bandung, Mevin.ID – Jawa Barat kini memegang rekor kelam sebagai provinsi paling depresi di Indonesia. Angka prevalensinya mencapai 3,3 persen, tertinggi secara nasional menurut data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2024 yang diolah oleh GoodStats.
Data itu menjadi lampu merah bagi Pemprov Jawa Barat. Lebih dari 62 ribu warga dikategorikan sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), dan jumlah itu belum termasuk mereka yang belum terdeteksi atau belum berani melapor.
“Ini bukan sekadar data, tapi sinyal bahaya. Ini pekerjaan rumah besar bagi kita semua,” ujar Sekretaris Daerah Jabar, Herman Suryatman, dalam pertemuan lintas sektor di Gedung Sate, Jumat (9/5/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Jabar Tertinggi, Kaltim Menyusul
Jawa Barat berada di puncak daftar provinsi dengan depresi tertinggi, disusul oleh:
- Kalimantan Timur: 2,2%
- Banten & Sulawesi Selatan: 1,7%
- DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sulawesi Tengah: 1,5%
- Sulawesi Utara: 1,4%
- NTB: 1,3%
- Sumatera Utara: 1,2%
Angka-angka ini menunjukkan bahwa krisis kesehatan jiwa tak lagi terisolasi di daerah perkotaan atau pinggiran. Ia menyebar merata—sunyi namun sistemik.
Global: 1 dari 7 Orang Depresi, Perempuan Lebih Rentan
Secara global, World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa satu dari tujuh orang di dunia mengalami depresi. Prevalensi depresi lebih tinggi pada perempuan (5,1%) dibanding laki-laki (3,6%). Dampaknya serius: depresi dikaitkan dengan 16 juta kasus bunuh diri dan 4 juta penyakit jantung di seluruh dunia.
Di Indonesia, data SKI menunjukkan bahwa 61% anak muda usia 15–24 tahun yang mengalami depresi pernah memiliki pikiran untuk bunuh diri.
Pemprov Jabar Ambil Langkah Tanggap Darurat
Menanggapi kondisi ini, Pemprov Jabar segera merancang strategi, termasuk menjadikan 1.100 puskesmas sebagai basis layanan psikologi klinis. Namun Herman mengakui, langkah ini penuh tantangan karena keterbatasan jumlah psikolog klinis yang tersedia di daerah.
“Yang BLUD bisa rekrut psikolog, yang belum, dokter umum diberi pelatihan dasar psikologi klinis agar fungsi minimal bisa dijalankan,” katanya.
Pemerintah juga tengah menunggu regulasi dari Kementerian Kesehatan untuk penyesuaian formasi dan pembiayaan layanan psikologis di tingkat puskesmas.
Herman menegaskan pentingnya memperluas perhatian ke kelompok usia SMP dan SMA, karena SKI saat ini hanya mencatat warga usia 15 tahun ke atas. “Anak-anak remaja ini sangat rentan. Mereka perlu pendekatan berbeda,” ujarnya.
Darurat Sunyi yang Tak Boleh Diabaikan
Prevalensi 3,3% di Jawa Barat bukan angka kecil—ini adalah krisis sosial yang tak kasat mata. Stigma, minimnya fasilitas, dan kurangnya pemahaman membuat banyak penderita depresi memilih diam atau menyembunyikan kondisinya.
“Yang paling penting saat ini adalah kesadaran. Kita harus akui bahwa kita punya persoalan besar dengan kesehatan jiwa. Dan itu harus ditangani sekarang, bukan nanti,” tegas Herman.
Jawa Barat sedang berpacu melawan waktu. Di tengah tekanan hidup, krisis ekonomi, dan paparan digital yang tak terkendali, kemampuan daerah menjaga kewarasan warganya kini jadi penentu masa depan.***