Bandung, Mevin.ID – Ancaman pembunuhan dan penculikan terhadap Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memicu kekhawatiran serius di berbagai kalangan. Beberapa tokoh mengutuk mengutuk keras ancaman teror bom, penculikan, dan pembunuhan terhadap Dedi Mulyadi.
Iwan Tarmana, Sekretaris Jenderal Prabu Foundation sekaligus mantan kader ideologis dari lingkungan keluarga eks-Darul Islam (DI) Malangbong, Garut, menilai bahwa detail dalam ancaman tersebut menunjukkan pola pikir ekstrem yang harus ditanggapi dengan langkah antisipatif.
Ancaman yang disampaikan melalui kanal YouTube saat siaran langsung, mencakup pernyataan eksplisit tentang penggunaan bom bunuh diri dan perakitan bom paku, serta rencana penculikan anak Gubernur Mulyadi. Akun bernama “Wowo dan Dedi Mulyadi sesat!” disebut sebagai sumber ancaman.
“Penyebutan bom paku dan bom bunuh diri bukan sekadar retorika. Itu mencerminkan tingkat perencanaan dan kesiapan untuk melakukan kekerasan ekstrem,” ujar Iwan dalam wawancara dengan Mevin.ID, Rabu (24/4).
Ia menambahkan, referensi terhadap tragedi Bom Bali dalam salah satu komentar pelaku mengindikasikan niat untuk menimbulkan ketakutan dan kekacauan massal.
“Ini bukan ancaman biasa. Ini mirip dengan taktik propaganda teroris yang sengaja menggunakan trauma kolektif bangsa untuk memperkuat pesan ancamannya,” tegas Iwan.
Lebih lanjut, Iwan menyebut bahwa ancaman terhadap anak gubernur justru mengindikasikan motif intimidatif yang lebih dalam. Menurutnya, aksi semacam itu biasa digunakan dalam strategi tekanan terhadap tokoh publik yang dinilai “mengganggu kepentingan tertentu”.
“Ketika keluarga menjadi target, itu berarti pelaku ingin mendorong gubernur pada posisi kompromi atau bahkan menyerah secara psikologis. Ini strategi kekerasan emosional yang sangat licik,” katanya.
Gubernur Dedi Mulyadi sendiri menyatakan bahwa dirinya telah lama terbiasa dengan ancaman, bahkan sejak menjabat sebagai Bupati Purwakarta. Dari kecaman terhadap patung pahlawan Sunda hingga penutupan tambang ilegal, jejak panjang kebijakan-kebijakannya memang kerap memicu resistensi.
Namun, Iwan mengingatkan agar pengalaman masa lalu tidak menjadi alasan untuk meremehkan eskalasi ancaman saat ini.
“Justru karena ini bukan ancaman pertama, harusnya ada evaluasi menyeluruh terhadap pola-pola ancaman yang muncul. Apakah ini hanya aksi tunggal, atau bagian dari jejaring ekstremis yang merasa terganggu oleh kebijakan Mulyadi?” ujarnya.
Ia mendesak pihak Polda Jabar untuk melakukan penyelidikan proaktif, bahkan jika Gubernur belum secara resmi melapor. “Keamanan publik dan pejabat negara tidak boleh menunggu,” katanya. Iwan juga menilai pentingnya digital forensik terhadap akun pengancam serta pemetaan jaringan sosial daring yang mendukung narasi kekerasan.
Lebih dari sekadar penegakan hukum, Iwan menyerukan dibangunnya sistem pelaporan ancaman siber yang terstandarisasi untuk pejabat publik. Ia juga mengingatkan dampak psikologis terhadap keluarga korban ancaman, dan pentingnya penyediaan layanan pendampingan psikologis.
“Mengabaikan ancaman hanya memberi ruang bagi kekerasan tumbuh dalam senyap. Keamanan bukan hanya soal fisik, tapi juga soal ketenangan berpikir pejabat publik dalam menjalankan tugasnya,” tutup Iwan.***




















