LEBARAN biasanya menjadi momentum pertumbuhan konsumsi rumah tangga di Indonesia. Namun, menjelang Idulfitri 1446 Hijriyah, tanda-tanda keanehan dalam pola konsumsi masyarakat justru semakin nyata. Lembaga think tank Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia dalam laporannya “Awas Anomali Konsumsi Jelang Lebaran 2025” mengungkapkan adanya pelemahan daya beli yang tidak biasa. Apakah ini sekadar gejala musiman, atau sinyal lebih dalam tentang kondisi perekonomian kita?
Deflasi di Tengah Peningkatan Kebutuhan
Biasanya, menjelang Ramadan dan Lebaran, inflasi meningkat akibat kenaikan harga bahan pokok. Namun, yang terjadi kali ini justru sebaliknya—deflasi berulang terjadi sejak awal tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Februari 2025, terjadi deflasi secara tahunan (-0,09%), bulanan (-0,48%), dan year to date (-1,24%). Bahkan, kelompok makanan, minuman, dan tembakau—yang selama ini menjadi pendorong inflasi—malah mengalami penurunan harga.
Kondisi ini diperparah dengan menurunnya indeks penjualan riil (IPR) yang dicatat oleh Bank Indonesia. Penjualan makanan, minuman, dan tembakau anjlok hingga -1,7%, sementara tren pertumbuhan IPR yang sebelum 2017 selalu mencapai double digits kini stagnan di bawah 5%. Fakta ini memperlihatkan tekanan daya beli yang semakin besar di masyarakat.
Fenomena Penurunan Mudik dan Belanja Masyarakat
Jika daya beli masyarakat sehat, seharusnya sektor ritel dan perjalanan mendapatkan keuntungan besar saat Ramadan dan Lebaran. Namun, realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Data Kementerian Perhubungan mencatat penurunan jumlah pemudik tahun ini hingga 24%, dari 193,6 juta orang pada 2024 menjadi hanya 146,48 juta orang pada 2025. Keputusan masyarakat untuk tidak mudik mengindikasikan bahwa mereka mengalami keterbatasan ekonomi yang signifikan.
Di sektor ritel, penjualan jaringan minimarket dan department store juga mengalami perlambatan drastis. Indomaret, misalnya, yang sebelumnya tumbuh 44,7% pada 2022-2023, hanya mencatat pertumbuhan 4% pada 2024. Alfamart turun dari 13,9% menjadi 10%, sementara Ramayana bahkan hampir tidak tumbuh (0,1%). Matahari justru mengalami kontraksi dengan pertumbuhan negatif -2,6%.
Penyebab dan Dampak Jangka Panjang
CORE Indonesia menyoroti bahwa melemahnya daya beli ini bukanlah kejadian spontan, melainkan akumulasi dari berbagai faktor. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), sulitnya mencari pekerjaan formal, serta dampak dari deindustrialisasi dini telah menggerus pendapatan masyarakat. Jika situasi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin kondisi ini akan berujung pada krisis konsumsi yang lebih besar dan memperburuk kinerja ekonomi domestik.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, pun mengakui bahwa momentum Lebaran yang biasanya menjadi berkah bagi pelaku usaha kini tidak terjadi. Meskipun indeks kepercayaan konsumen masih menunjukkan angka optimistis di level 126,4, kenyataan di lapangan menunjukkan sepinya pusat perbelanjaan dan lemahnya penjualan, bahkan dengan berbagai program diskon yang ditawarkan.
Mampukah Pemerintah dan Pengusaha Mengatasi Tantangan Ini ?
Menghadapi kondisi ini, dunia usaha tengah beradaptasi dengan efisiensi operasional, digitalisasi, dan optimalisasi strategi berbasis e-commerce. Namun, pertanyaannya adalah: apakah langkah ini cukup untuk mengembalikan gairah konsumsi? Ataukah perlu intervensi lebih lanjut dari pemerintah?
Pemerintah memang telah memberikan berbagai insentif, seperti diskon tarif listrik, tetapi efeknya masih belum cukup untuk mengangkat daya beli masyarakat secara signifikan. Jika tidak ada strategi yang lebih komprehensif, ekonomi Indonesia bisa menghadapi tantangan yang lebih besar di masa depan.
Situasi ini seharusnya menjadi peringatan bagi semua pihak. Jika daya beli masyarakat terus melemah, bukan hanya sektor ritel yang terdampak, tetapi juga kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Perlu ada keseimbangan antara kebijakan ekonomi, perlindungan tenaga kerja, serta inovasi dari dunia usaha agar Indonesia tidak terjebak dalam perlambatan ekonomi yang berkepanjangan.***
Penulis : Bernad





















