Jakarta, Mevin.ID – Pemerintah tengah menyusun langkah strategis yang akan mengubah wajah perdagangan digital di Indonesia. Dalam waktu dekat, platform marketplace seperti e-commerce diwajibkan untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari setiap transaksi penjualan barang oleh para merchant. Namun, jangan salah sangka—ini bukan pajak baru.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upaya perbaikan sistem administrasi perpajakan, khususnya dalam mendorong kepatuhan pajak di sektor informal.
“Setiap tahun kita terus lakukan pembaruan administrasi agar sistem pajak makin efisien dan patuh,” ujar Febrio saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (28/6/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Langkah ini menyasar upaya memperkuat penerimaan negara sekaligus mendorong ekosistem digital yang lebih tertib pajak. Meskipun begitu, Kemenkeu melalui Direktorat Jenderal Pajak tetap menjanjikan proses evaluasi menyeluruh dalam implementasinya.
“Kita lihat nanti hasil evaluasinya seperti apa. Intinya, ini bagian dari reformasi sistem,” tegas Febrio.
Kabar baiknya, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tidak perlu khawatir jika omzet mereka masih di bawah Rp 500 juta per tahun.
“UMKM dengan pendapatan di bawah Rp 500 juta tetap bebas dari PPh, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU HPP. Ini adalah bentuk perlindungan bagi pelaku usaha kecil,” jelasnya.
Kebijakan ini sekaligus menjadi sinyal bahwa era perdagangan digital di Indonesia akan semakin terstruktur dan transparan.
Namun di balik niat baik ini, suara publik pun mulai ramai—kritik terhadap beban pajak digital, terutama dari warganet, mulai bermunculan di berbagai platform media sosial.
Apakah langkah ini akan menyeimbangkan penerimaan negara dan perlindungan UMKM, atau justru memicu gelombang protes baru? Kita tunggu saja evaluasi berikutnya.***