Bahagia yang Tertekan: Benarkah Guru PPPK Diangkat, Tapi Dikorbankan? 

- Redaksi

Minggu, 20 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

ANGIN bahagia sempat berembus saat ribuan guru honorer akhirnya diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Tangis haru, sujud syukur, dan doa-doa panjang mewarnai momen yang telah mereka nanti bertahun-tahun.

Sebuah pengakuan negara atas pengabdian sunyi di ruang-ruang kelas yang seringkali terabaikan.

Namun, kebahagiaan itu cepat berubah menjadi tekanan yang menyakitkan. Di balik status baru sebagai ASN, banyak dari mereka justru harus menelan kenyataan pahit: ditempatkan jauh dari rumah, bahkan lintas kabupaten—jauh dari anak, pasangan, dan kehidupan yang telah mereka bangun.

“Bahagia? Tentu. Tapi ini juga menyakitkan dan memilukan,” tutur seorang guru PPPK yang kini mengajar di sekolah menengah terpencil di kabupaten tetangga.

Setiap hari ia bergulat dengan jarak, biaya, dan rindu. Ia tak lagi bisa mengantar anaknya sekolah. Ia tak lagi hadir di tengah keluarganya. Status PPPK yang seharusnya menjadi anugerah, berubah menjadi beban.

Masalahnya bukan sekadar geografis. Lebih dalam dari itu adalah ketidakpekaan sistem terhadap beban manusiawi yang harus ditanggung para guru.

Gaji dan tunjangan dipukul rata, seolah semua berada dalam situasi yang sama. Padahal, banyak guru PPPK harus merogoh lebih dari separuh gajinya untuk ongkos transportasi, menyewa tempat tinggal kedua, dan membayar orang lain untuk mengurus keluarga yang ditinggalkan.

“Dulu saya antar-jemput anak sendiri. Sekarang, sejak ditempatkan jauh dan tak bisa pulang tiap hari, semua harus dibayar. Biaya antarjemput anak lebih besar dari tunjangan yang saya terima,” keluh seorang guru PPPK dari Jawa Barat yang kini terpisah kabupaten dari keluarganya.

Sistem penempatan yang kaku dan tidak mempertimbangkan aspek sosial membuat para guru merasa dikerahkan, tapi tak dipedulikan. Negara hadir memberi status, tapi absen saat para guru berjuang menjaga keberlangsungan hidupnya.

Di atas kertas mereka adalah ASN, tapi di lapangan, mereka adalah pahlawan yang berjuang dalam sunyi—dengan beban ganda yang tak pernah dihitung.

Ironisnya, hingga hari ini belum ada skema kompensasi yang berpihak. Tak ada kebijakan afirmatif untuk menyesuaikan tunjangan berdasarkan lokasi penugasan.

Pemerintah hanya bersembunyi di balik dalih bahwa semua guru telah “menerima hak sesuai regulasi”. Kalimat dingin yang tak menjawab jeritan di lapangan.

Jika terus diabaikan, ini bukan sekadar masalah kesejahteraan. Ini bom waktu. Tekanan psikologis, kelelahan finansial, dan ketidakstabilan keluarga bisa melahirkan eksodus senyap dari profesi guru—profesi yang ironisnya terus dipuja dalam pidato, tapi ditelantarkan dalam praktik.

Apakah ini harga dari pengabdian? Apakah menjadi PPPK berarti harus berpisah dari anak, kehilangan waktu dengan keluarga, dan mengorbankan segalanya tanpa perhatian negara?

Yang tersisa kini adalah pilihan pahit: bertahan demi idealisme, atau menunggu empati dari mereka yang membuat kebijakan dari balik meja—jauh dari realita lapangan.

Guru PPPK bukan mesin. Mereka manusia. Mereka punya rumah, anak, dan martabat yang pantas dihormati. Dan negara, jika benar ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, tak cukup hanya dengan memberi status. Negara harus benar-benar hadir.

Dr. Deden Sukirman, MMPemerhati Pendidikan tinggal di Bandung

Facebook Comments Box
Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Serigala di Pintu, Penggembala di Balik Senyum: Refleksi Kealpaan Manusia atas Ancaman Terdekat
Marsinah: Dari Lantai Pabrik ke Istana Negara — Kepahlawanan yang Lahir dari Upah Minimum
Seni Melepaskan Amarah: Menggali Pengertian dari Sudut Pandang Stoik Epictetus
Refleksi Hari Pahlawan 2025, Krisis Keteladanan di Negeri yang Lupa akan Pengorbanan
Mengenang Raharti: Ketika Keberanian Perempuan Melampaui Batas Peluru dan Waktu
Banjir Tahunan Eretan Wetan : Warga Bertahan Di Tengah Janji Yang Tak Kunjung Datang
Air Zam-zam yang Tercemar Darah Tetangga: Ironi Ibadah dan Kemanusiaan
Kerinduan Abadi Sang Seruling: Jalan Pulang Jiwa Menurut Rumi
Tag :

Berita Terkait

Selasa, 11 November 2025 - 12:57 WIB

Serigala di Pintu, Penggembala di Balik Senyum: Refleksi Kealpaan Manusia atas Ancaman Terdekat

Senin, 10 November 2025 - 14:09 WIB

Marsinah: Dari Lantai Pabrik ke Istana Negara — Kepahlawanan yang Lahir dari Upah Minimum

Senin, 10 November 2025 - 12:47 WIB

Seni Melepaskan Amarah: Menggali Pengertian dari Sudut Pandang Stoik Epictetus

Senin, 10 November 2025 - 11:29 WIB

Refleksi Hari Pahlawan 2025, Krisis Keteladanan di Negeri yang Lupa akan Pengorbanan

Senin, 10 November 2025 - 10:54 WIB

Mengenang Raharti: Ketika Keberanian Perempuan Melampaui Batas Peluru dan Waktu

Berita Terbaru