ANGIN bahagia sempat berembus saat ribuan guru honorer akhirnya diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Tangis haru, sujud syukur, dan doa-doa panjang mewarnai momen yang telah mereka nanti bertahun-tahun.
Sebuah pengakuan negara atas pengabdian sunyi di ruang-ruang kelas yang seringkali terabaikan.
Namun, kebahagiaan itu cepat berubah menjadi tekanan yang menyakitkan. Di balik status baru sebagai ASN, banyak dari mereka justru harus menelan kenyataan pahit: ditempatkan jauh dari rumah, bahkan lintas kabupaten—jauh dari anak, pasangan, dan kehidupan yang telah mereka bangun.
“Bahagia? Tentu. Tapi ini juga menyakitkan dan memilukan,” tutur seorang guru PPPK yang kini mengajar di sekolah menengah terpencil di kabupaten tetangga.
Setiap hari ia bergulat dengan jarak, biaya, dan rindu. Ia tak lagi bisa mengantar anaknya sekolah. Ia tak lagi hadir di tengah keluarganya. Status PPPK yang seharusnya menjadi anugerah, berubah menjadi beban.
Masalahnya bukan sekadar geografis. Lebih dalam dari itu adalah ketidakpekaan sistem terhadap beban manusiawi yang harus ditanggung para guru.
Gaji dan tunjangan dipukul rata, seolah semua berada dalam situasi yang sama. Padahal, banyak guru PPPK harus merogoh lebih dari separuh gajinya untuk ongkos transportasi, menyewa tempat tinggal kedua, dan membayar orang lain untuk mengurus keluarga yang ditinggalkan.
“Dulu saya antar-jemput anak sendiri. Sekarang, sejak ditempatkan jauh dan tak bisa pulang tiap hari, semua harus dibayar. Biaya antarjemput anak lebih besar dari tunjangan yang saya terima,” keluh seorang guru PPPK dari Jawa Barat yang kini terpisah kabupaten dari keluarganya.
Sistem penempatan yang kaku dan tidak mempertimbangkan aspek sosial membuat para guru merasa dikerahkan, tapi tak dipedulikan. Negara hadir memberi status, tapi absen saat para guru berjuang menjaga keberlangsungan hidupnya.
Di atas kertas mereka adalah ASN, tapi di lapangan, mereka adalah pahlawan yang berjuang dalam sunyi—dengan beban ganda yang tak pernah dihitung.
Ironisnya, hingga hari ini belum ada skema kompensasi yang berpihak. Tak ada kebijakan afirmatif untuk menyesuaikan tunjangan berdasarkan lokasi penugasan.
Pemerintah hanya bersembunyi di balik dalih bahwa semua guru telah “menerima hak sesuai regulasi”. Kalimat dingin yang tak menjawab jeritan di lapangan.
Jika terus diabaikan, ini bukan sekadar masalah kesejahteraan. Ini bom waktu. Tekanan psikologis, kelelahan finansial, dan ketidakstabilan keluarga bisa melahirkan eksodus senyap dari profesi guru—profesi yang ironisnya terus dipuja dalam pidato, tapi ditelantarkan dalam praktik.
Apakah ini harga dari pengabdian? Apakah menjadi PPPK berarti harus berpisah dari anak, kehilangan waktu dengan keluarga, dan mengorbankan segalanya tanpa perhatian negara?
Yang tersisa kini adalah pilihan pahit: bertahan demi idealisme, atau menunggu empati dari mereka yang membuat kebijakan dari balik meja—jauh dari realita lapangan.
Guru PPPK bukan mesin. Mereka manusia. Mereka punya rumah, anak, dan martabat yang pantas dihormati. Dan negara, jika benar ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, tak cukup hanya dengan memberi status. Negara harus benar-benar hadir.
Dr. Deden Sukirman, MM, Pemerhati Pendidikan tinggal di Bandung





















