PADA masa kolonial Belanda, Kota Bandung dirancang bukan sebagai kota industri atau pemerintahan besar, melainkan sebagai kota peristirahatan bagi para pejabat (amtenar) Belanda.
Udara yang sejuk, pemandangan pegunungan yang indah, serta suasana tenang menjadikan Bandung tempat ideal untuk melepas penat dari panas dan sesaknya Batavia.
Julukan “Paris van Java” pun lahir dari situ — cerminan keindahan dan pesona Bandung yang dianggap menyerupai kota-kota di Eropa.
Awal Mula Kota Bandung
Sejarah Bandung bermula pada 25 Mei 1810, ketika Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels mengeluarkan surat perintah kepada Bupati Bandung R.A. Wiranatakusumah II untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Dayeuhkolot ke lokasi yang sekarang menjadi Alun-alun Kota Bandung.
Langkah ini berkaitan dengan pembangunan Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) yang membentang dari Anyer hingga Panarukan.
Jalur besar tersebut menjadi urat nadi baru bagi lalu lintas pemerintahan dan perdagangan di Jawa, dan kehadirannya mendorong Bandung tumbuh menjadi kota penting di dataran tinggi Priangan.
Bandung: Kota Peristirahatan dan Keindahan Kolonial
Udara Bandung yang sejuk serta lanskapnya yang memanjakan mata membuat banyak pejabat Belanda memilih menetap atau berlibur di kota ini.
Seiring waktu, muncul berbagai fasilitas wisata dan hiburan — mulai dari Hotel Preanger, Societeit Concordia (kini Gedung Merdeka), hingga kawasan Braga yang ramai oleh toko, kafe, dan gedung pertunjukan.
Bandung menjadi semacam “Buitenzorg kedua” setelah Bogor, tempat di mana kaum kolonial menikmati gaya hidup Eropa di tengah tropisnya Hindia Belanda.
Pada dekade 1930-an, bahkan muncul wacana untuk memindahkan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung karena dianggap lebih strategis, sejuk, dan sehat. Namun rencana besar itu kandas akibat pecahnya Perang Dunia II.
Dari Kota Nyaman Menjadi Kota yang Hiruk-Pikuk
Lebih dari dua abad berlalu. Bandung kini telah berubah dari kota kecil yang tenang menjadi metropolitan yang padat dan kompleks.
Pertumbuhan penduduk yang pesat, urbanisasi tanpa kendali, dan pembangunan yang tidak terarah membuat wajah Bandung kian jauh dari citra “Paris van Java”.
Kawasan yang dulu penuh taman kini berganti dengan gedung bertingkat dan kawasan komersial. Sungai-sungai yang dulu jernih kini tercemar. Jalan-jalan yang dulu lengang kini macet nyaris sepanjang hari.
Setiap musim hujan, banjir cileuncang menjadi langganan di berbagai titik kota, mencerminkan persoalan tata kelola drainase dan lingkungan yang kronis.
Masalah sampah juga belum terselesaikan, sementara transportasi publik yang tidak efisien memaksa warga mengandalkan kendaraan pribadi, menambah sesak udara dan kemacetan.
Kota yang dulu dikenal karena keasriannya kini menghadapi krisis lingkungan dan sosial yang serius.
Kegagalan Perencanaan dan Kerentanan Baru
Pertumbuhan kota yang tidak terkendali membawa ancaman dan kerentanan baru bagi masyarakat. Tidak hanya risiko bencana alam, seperti banjir dan longsor, tetapi juga bencana nonalam dan sosial, seperti polusi, kemacetan, penyakit, dan menurunnya kualitas hidup warga kota.
Kondisi ini sesungguhnya mencerminkan kegagalan pemerintah dalam perencanaan tata wilayah kota yang tidak komprehensif dan tidak memiliki visi jangka panjang.
Pemerintah gagal mengerem laju pertumbuhan penduduk, gagal mengintegrasikan aspek lingkungan dalam pembangunan, dan gagal menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan keberlanjutan ekologi.
Bandung yang dulu dibangun dengan cita rasa keindahan kini terjebak dalam paradoks modernitas: maju di satu sisi, tetapi rapuh di sisi lain.
Refleksi di Usia 215 Tahun
Peringatan Hari Jadi Kota Bandung ke-215, yang jatuh setiap 25 September, semestinya menjadi momen refleksi kolektif.
Refleksi untuk menata kembali arah pembangunan kota agar lebih manusiawi, hijau, dan tangguh terhadap bencana.
Refleksi tentang bagaimana kita dapat mengembalikan semangat awal Bandung — kota yang nyaman, sejuk, dan harmonis — di tengah tantangan zaman.
Bandung bukan sekadar tempat tinggal. Bandung adalah ruang hidup bersama yang harus dijaga, dirawat, dan dirancang untuk masa depan yang lebih Lestari, Tangguh mengadapi ancaman bencana, iklim, dan, berkeadilan.
Dadang Sudardja, Ketua LPBI NU Jawa Barat, Ketua Dewan Nasional WALHI 2012–2016, Direktur Yayasan Sahabat Nusantara, Anggota Dewan Sumberdaya Air Jawa Barat, Pegiat lingkungan hidup dan Kebencanan.





















