Bandung, Mevin.ID – Sore itu, Jumat (27/6/2025), di bawah langit Bandung yang murung, suara puisi dan orasi menggema dari Palestina Walk, sudut simbolik di jantung Alun-Alun Kota Bandung.
Seratusan massa dari Forum Persaudaraan Nasional (FPN) berkumpul, bukan hanya untuk unjuk rasa, tetapi untuk menyampaikan luka.
Luka yang tak kunjung sembuh—luka Palestina.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di tengah-tengah keramaian, tampak tubuh-tubuh tergolek. Bukan nyata, melainkan replika jenazah yang dibungkus kain kafan bercak merah.
Di sekitarnya, para perempuan dalam balutan hitam berteriak lirih, menangis, memeluk tanah. Sebuah pertunjukan teatrikal yang tak sekadar seni, melainkan teriakan pilu yang ingin mengguncang nurani.
Bandung dan Palestina: Sejarah yang Tak Pernah Tuntas
“Bandung adalah Ibu Kota Asia Afrika, dan Palestina satu-satunya peserta Konferensi Asia Afrika 1955 yang hingga hari ini belum merdeka,” ungkap Furqan AMC, Sekjen FPN, di tengah panggung orasi.
Dengan penuh semangat, Furqan menegaskan bahwa aksi ini bukan aksi tunggal. Ia bagian dari rangkaian perlawanan kultural dan moral yang telah digelar FPN di berbagai kota—dari Surabaya, Pekanbaru, Tarakan, hingga Majene.
“Ini mata rantai perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme,” tegasnya.
Spanduk Keadilan, Teriakan dari Asia Tenggara
Di antara barisan massa, dua spanduk besar terbentang lebar:
“Stop Genocide in Palestine!”
“USA, UK, Germany, France—Stop Arming Israel!”
Tidak ada basa-basi. FPN menyebut langsung negara-negara yang dianggap menyuplai mesin kematian di Gaza.
“Amerika Serikat menyuplai 80% senjata yang digunakan Israel untuk menggenosida Palestina,” ucap Furqan.
“Tekanan harus datang dari mana saja, termasuk dari Bandung.”
Orasi Lintas Iman dan Generasi
Aksi ini diwarnai oleh suara dari berbagai kalangan. Bukan hanya aktivis, tapi juga akademisi, pemuda, hingga pemuka lintas agama.
Ada Dr. Dina Y. Sulaeman, M.Si., peneliti hubungan internasional dan Ketua Dewan Pakar FPN.
Ada juga Hilmi Dhiya’ul Haq, ST., Ketua Youth Empathy and Solidarity (YES).
Bahkan Romo Felix, seorang cendekiawan Katolik, turut menyampaikan suara keprihatinan.
“Ini bukan tentang agama. Ini tentang kemanusiaan yang sedang dikoyak di hadapan kita,” ujar Romo Felix dalam orasinya.
Dari Jalan Raya ke Hati Warga
Aksi ini tidak hanya ditujukan untuk para peserta. Ia ditujukan kepada siapa pun yang melintas. Terlihat banyak warga memperlambat kendaraan, membuka jendela mobil, atau berhenti sejenak untuk mengambil foto dan video.
Di antara lalu lintas dan hiruk pikuk kota, Bandung kembali menjadi saksi jeritan Palestina.
Menariknya, aksi ini berlangsung bertepatan dengan 1 Muharram 1447 H—tahun baru Islam. Momentum ini, bagi para peserta, adalah simbol harapan baru untuk kebebasan yang selama ini hanya jadi janji.
Bandung Menggema, Dunia Mendengar
Aksi di Palestina Walk ditutup dengan kegiatan seni bersama Solidaritas Seni untuk Palestina dan berbagai komunitas budaya di depan Tugu Bola Dunia Asia Afrika.
Tak ada lemparan batu. Tak ada kemarahan. Yang ada hanya panggung kecil, suara yang jujur, dan tubuh-tubuh yang menolak diam.
Karena melawan ketidakadilan bukan hanya lewat senjata, tapi juga lewat kata, seni, dan kesetiaan pada sejarah.***
Penulis : Pratigto