KOTA Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, terus menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan sampah. Setiap hari, ribuan ton sampah dihasilkan dari rumah tangga, pasar, dan sektor publik.
Pemerintah Daerah pun gencar mencari solusi, mulai dari pembangunan Rumah Maggot di setiap kelurahan, Desa, hingga rencana Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Namun, realita lapangan menunjukkan bahwa tidak semua rencana berjalan mulus, dan masyarakat masih menjadi kunci utama keberhasilan pengelolaan sampah.
Program Maggot: Potensi Besar, Tantangan Nyata
Sejak awal 2024, Kota Bandung memperkenalkan program Rumah Maggot, yang tersebar di 151 kelurahan. Maggot (larva Black Soldier Fly) mampu mengurai sampah organik menjadi pupuk kompos dan pakan ternak, sekaligus mengurangi volume sampah hingga 50–60%.
Namun, tantangan nyata tetap ada: kapasitas sebagian rumah maggot belum optimal, kualitas larva bervariasi, dan partisipasi warga dalam memilah sampah masih terbatas.
Infrastruktur yang memadai dan pelatihan rutin bagi pengelola menjadi kebutuhan mendesak agar program ini tidak sekadar “proyek pajangan”, tapi benar-benar berdampak.
Insinerator: Solusi Cepat, Tapi Tidak Ramah Lingkungan
Di sisi lain, Pemkot Bandung Kabupaten Bandung juga gencar menggunakan insinerator untuk membakar sampah. Padahal, KLHK telah melarang penggunaan insinerator, terutama skala kecil dan tanpa sertifikasi resmi, karena risiko polusi udara dan dampak kesehatan.
Insinerator memang menawarkan solusi cepat untuk mengurangi timbulan sampah, tetapi pendekatan ini bukan solusi jangka panjang yang ramah lingkungan.
Tanpa pengelolaan yang ketat, metode ini bisa menimbulkan emisi berbahaya dan mengabaikan prinsip pengelolaan sampah berkelanjutan.
PLTSa Legok Nangka: Ambisi Besar, Pelajaran dari Masa Lalu
Rencana pemerintah pusat membangun PLTSa Legok Nangka diharapkan mampu mengelola ribuan ton sampah per hari sekaligus menghasilkan listrik.
Namun, proyek ini menghadapi tantangan besar: keterlambatan pembangunan, risiko lingkungan, dan biaya tinggi.
Pengalaman PLTSa sebelumnya yang mangkrak bertahun-tahun menjadi pelajaran penting bahwa proyek teknologi tinggi membutuhkan perencanaan matang, pengawasan ketat, dan sinergi antar pemangku kepentingan.
Solusi Nyata: Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
Dalam konteks Bandung, solusi yang lebih realistis dan berkelanjutan adalah pengelolaan sampah berbasis masyarakat/komunitas.
Beberapa prinsip utama meliputi:
1. Pemilahan di sumber: Warga memilah sampah organik, anorganik, dan B3 sejak rumah.
2. Pengolahan lokal: Sampah organik diolah menjadi maggot atau pupuk, sedangkan anorganik didaur ulang.
3. Keterlibatan aktif warga: Komunitas peduli lingkungan ikut mengelola, mengawasi, dan mendistribusikan produk turunan sampah.
Keuntungan pendekatan ini jelas: biaya lebih rendah, ramah lingkungan, memberdayakan ekonomi lokal, dan meningkatkan kesadaran warga.
Meski menghadapi tantangan seperti partisipasi masyarakat dan fasilitas terbatas, program berbasis komunitas terbukti lebih berkelanjutan dibandingkan pembakaran atau PLTSa yang ambisius namun rawan mangkrak.
PLTSa: Ambisi Teknologi Tinggi, Tantangan Nyata
Pemerintah pusat memang sedang mendorong pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di berbagai kota, sebagai solusi untuk mengatasi timbulan sampah sekaligus menghasilkan energi.
Namun, sejumlah literatur dan pendapat para ahli menunjukkan bahwa PLTSa bukanlah solusi instan:
1. Biaya besar dan persiapan Panjang
Pembangunan PLTSa membutuhkan investasi yang sangat tinggi, mulai dari pembangunan fasilitas, perizinan, hingga pengadaan teknologi ramah lingkungan.
Proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun sebelum beroperasi efektif.
2. Teknologi ramah lingkungan
Tidak semua PLTSa sama benar-benar ramah lingkungan, fasilitas ini harus menggunakan teknologi pembakaran canggih yang meminimalkan emisi gas rumah kaca dan polutan.
Hal ini berbeda jauh dengan insinerator skala kecil yang saat ini masih gencar digunakan di beberapa kota, termasuk Bandung, yang berisiko menimbulkan polusi udara.
3. Fasilitas pendukung dan lahan
PLTSa memerlukan lahan cukup luas untuk mengakomodasi area pengolahan sampah, lokasi penerimaan, fasilitas pengolahan limbah, serta ruang untuk monitoring kualitas lingkungan.
Tidak semua kota memiliki lahan yang memadai, apalagi di daerah padat penduduk.
4. Evaluasi literatur dan pendapat ahli
Berdasarkan studi internasional, PLTSa dapat menjadi solusi hanya jika dilakukan secara matang dan berkelanjutan, dengan memperhatikan:
- Integrasi dengan pengelolaan sampah berbasis sumber (reduce, reuse, recycle).
- Pemantauan ketat terhadap emisi dan dampak lingkungan.
- Partisipasi masyarakat dan perencanaan sosial-ekonomi lokal.
Jika dilepaskan dari konteks ini, PLTSa berisiko menjadi proyek besar yang menghabiskan anggaran tapi tidak menyelesaikan masalah sampah secara menyeluruh, sebagaimana terlihat dari proyek insinerator atau PLTSa mangkrak di beberapa daerah sebelumnya.
***
Rencana pembangunan PLTSa memang ambisius dan menawarkan solusi teknologi tinggi, tetapi bukan pengganti pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
Pengalaman dari berbagai literatur dan praktik global menunjukkan bahwa solusi yang terintegrasi antara teknologi, partisipasi masyarakat, dan kebijakan pemerintah lah yang paling efektif.
Dengan kata lain, PLTSa dapat menjadi bagian dari strategi jangka panjang, tetapi tanpa pengelolaan komunitas dan pemilahan sampah di sumbernya, manfaatnya akan sangat terbatas, bahkan berpotensi menjadi proyek mahal yang tidak optimal.
Pengelolaan sampah di Bandung tidak bisa hanya mengandalkan teknologi mahal atau proyek pemerintah besar.
Keterlibatan masyarakat menjadi kunci utama. Dengan pemilahan sampah di sumber, pengolahan lokal yang efektif, dan dukungan penuh dari pemerintah—baik regulasi maupun insentif—Bandung bisa menjadi kota yang bersih, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Rumah maggot, bank sampah, dan komunitas peduli lingkungan bukan sekadar inisiatif kecil; mereka adalah harapan nyata bagi masa depan Bandung yang lebih hijau, sekaligus pelajaran bahwa solusi berkelanjutan lahir dari partisipasi semua pihak, bukan dari mesin pembakar sampah semata.***
Dadang Sudardja – Ketua LPBI NU Jawa Barat, Ketua Dewan Nasional WALHI periode 2012–2016, Anggota Dewan Sumberdaya Air Jawa Barat, dan Direktur Yayasan Sahabat Nusantara. Yayasan ini bergerak di bidang Sosial, Lingkungan Hidup, Perubahan Iklim, Ekonomi, Humanitarian, dan Kebencanaan.
Daftar Pustaka / Literatur (Format APA Sederhana)
1. Diener, S., et al. (2011). Conversion of organic material by Black Soldier Fly larvae: Establishing optimal feeding rates. Waste Management, 31(6), 1007–1014.
2. Surendra, K. C., et al. (2016). Bioconversion of organic wastes into biodiesel and animal feed via insect larvae: A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 54, 162–179.
3. Hoornweg, D., & Bhada-Tata, P. (2012). What a Waste: A Global Review of Solid Waste Management. World Bank.
4. UN-Habitat. (2010). Solid Waste Management in the World’s Cities: Water and Sanitation in the World’s Cities. Earthscan.
5. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2018). Standar Teknis Pembangunan dan Operasional Pembangkit Listrik Tenaga Sampah. Jakarta: KLHK.
6. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2020). Pedoman Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Berbasis Komunitas. Jakarta: KLHK.
7. Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung. (2023). Laporan Pengelolaan Sampah Kota Bandung Tahun 2023. Bandung: DLH Kota Bandung.
8. Pemerintah Kota Bandung. (2024). Program Rumah Maggot dan Pengelolaan Sampah Kelurahan. Bandung: Pemkot Bandung.
9. Abarca, G., et al. (2013). Environmental and health impacts of waste-to-energy technologies. Waste Management, 33(11), 2534–2545.
Penulis : Dadang Sudardja





















