Jakarta, Mevin.ID — Di tengah desakan dunia menuju energi hijau, Indonesia memilih jalur tengah: mengubah batu bara yang selama ini dianggap “kotor” menjadi energi baru yang lebih bersih. Proyek itu bernama gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) — bahan bakar pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Langkah ini digagas oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai bagian dari strategi hilirisasi nasional yang kini masuk dalam peta jalan energi hingga 2060.
“Kita tahu batu bara masih banyak di Indonesia. Tapi dunia menginginkan energi hijau. Maka bagaimana caranya supaya batu bara tetap bisa dimanfaatkan tanpa kehilangan semangat green energy,” ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Tri Winarno, dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia Special Road to Hari Tambang dan Energi 2025, Selasa (21/10/2025).
Dari Energi Kotor Menuju Energi Bersih
Indonesia masih mengimpor sekitar 6–7 juta ton LPG per tahun, sebagian besar dari Amerika Serikat. Padahal, cadangan batu bara nasional mencapai miliaran ton. Inilah yang membuat pemerintah menilai transformasi batu bara menjadi DME sebagai langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan impor sekaligus menekan subsidi LPG yang menembus Rp80–87 triliun per tahun.
“Dengan DME, kita bisa ubah karakter batu bara jadi lebih ramah lingkungan dan kurangi beban subsidi,” kata Tri.
Program ini juga diharapkan membuka lapangan kerja baru di sektor tambang dan industri kimia, sekaligus menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan komitmen transisi energi.
Peta Jalan Menuju 2060
Proyek DME resmi masuk dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), menggantikan PP Nomor 79 Tahun 2014. Dalam beleid itu, pemerintah menargetkan pemanfaatan DME dimulai pada 2030, dari nol hingga 600 ribu ton setara minyak (TOE).
Selama tiga dekade berikutnya, kapasitas DME ditingkatkan secara bertahap:
- 2040–2060: mencapai 3–3,6 juta TOE,
- Sementara konsumsi LPG domestik terus ditekan dari 11 juta TOE pada 2030 menjadi hanya 0,8–0,9 juta TOE pada 2060.
Artinya, dalam empat dekade ke depan, dapur-dapur rumah tangga Indonesia perlahan akan berpindah dari gas impor menuju gas hasil transformasi batu bara dalam negeri.
Menjaga Keseimbangan: Antara Hijau dan Realistis
Kritik tentu tetap ada. Dunia menilai hilirisasi batu bara bukanlah energi hijau sejati, melainkan upaya “menjinakkan” bahan bakar fosil. Namun di sisi lain, Indonesia menghadapi dilema klasik: kebutuhan energi murah dan melimpah belum bisa sepenuhnya dipenuhi oleh sumber terbarukan seperti surya dan angin.
Gasifikasi batu bara menjadi DME menjadi jembatan kompromi antara idealisme hijau dan pragmatisme ekonomi.
Dalam konteks itu, proyek DME bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan strategi geopolitik energi nasional — memastikan Indonesia tidak terus bergantung pada impor LPG, sekaligus menjaga stabilitas fiskal di tengah subsidi yang membengkak.
Langkah Awal, Jalan Panjang
Pemerintah menargetkan proyek DME mulai beroperasi penuh pada awal 2030-an. Namun, jalan menuju sana masih panjang: dari urusan investasi, kesiapan infrastruktur, hingga integrasi dengan industri petrokimia nasional.
Satu hal yang pasti, transformasi ini adalah sinyal perubahan arah energi Indonesia — dari batu bara yang dulu dikutuk, menjadi batu bara yang diolah cerdas. Dari sumber polusi, menjadi sumber peluang. ***





















