MENJELANG peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, jagat media sosial diramaikan oleh fenomena unik—pengibaran dua bendera berdampingan: bendera Merah Putih dan bendera bajak laut Jolly Roger dari serial anime One Piece.
Dari TikTok hingga X (dulu Twitter), momen ini viral dan memantik perdebatan publik. Ada yang tertawa geli, ada yang geram, ada pula yang merenung.
Sebagian orang melihatnya sebagai aksi iseng anak muda yang kreatif dan visual. Yang lain menyebutnya bentuk protes simbolik, kritik halus terhadap realitas sosial-politik Indonesia. Bahkan tak sedikit yang menganggapnya penghinaan terhadap simbol negara.
Didunia One Piece, para bajak laut bukan sekedar penjahat, banyak dari mereka justru jadi simbol perlawanan terhadap ketidak adilan, tirani & kekuasaan yg sewenang-wenang.
.
.
.
.
Family Mart PPATK NPWP Payment ID SeaBank Undip Pak Irwasum Senin Innalillahi. pic.twitter.com/OGtCa9VP3K— Nobody (@Speak_kings) July 28, 2025
Namun, mari kita lihat lebih jernih.
Secara hukum, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 memang mewajibkan warga negara untuk menghormati dan mengibarkan bendera Merah Putih. Tapi tak ada larangan eksplisit soal pengibaran bendera lain, selama tidak lebih tinggi atau merendahkan posisi bendera negara.
Artinya, selama tidak ada unsur penghinaan, aksi ini sulit ditindak secara hukum. Yang justru perlu kita sikapi adalah makna yang coba disampaikan.
Fenomena ini bukan sekadar tren visual. Ia adalah bentuk ekspresi. Ekspresi damai. Ekspresi budaya. Ekspresi kebangsaan generasi muda dalam bahasa yang mereka pahami—budaya pop.
Dalam semesta One Piece, bendera Jolly Roger bukan sekadar simbol bajak laut. Ia adalah lambang kebebasan, semangat perlawanan terhadap ketidakadilan, dan tekad pantang menyerah dalam mengejar mimpi. Nilai-nilai yang, ternyata, dirasa relevan oleh banyak anak muda Indonesia hari ini.
Jadi jangan buru-buru menyebut mereka tak nasionalis. Mereka mencintai negeri ini—hanya saja dengan cara yang tak biasa. Mereka tak berteriak di jalan, tapi berbicara lewat meme, video, dan bendera anime.
Ini adalah “demonstrasi baru” di zaman digital: ekspresi identitas dan keprihatinan lewat estetika dan simbol.
Fenomena ini bukan dirancang secara sistematis atau terorganisir. Tapi bukan pula kebetulan. Ia muncul dari kegelisahan kolektif.
Bahwa cara-cara konvensional dalam merayakan kemerdekaan terasa makin hambar, makin tak menyentuh realitas generasi mereka. Maka mereka menciptakan simbol sendiri, bahasa sendiri.
Apakah ini salah?
Tentu tidak, selama Merah Putih tetap dikibarkan dengan hormat. Karena nasionalisme bukan hanya tentang upacara atau hormat bendera. Ia hidup dalam bentuk keberanian untuk bersuara, kesediaan untuk peduli, dan keberanian mengimajinasikan masa depan negeri dengan cara mereka sendiri.
Dirgahayu ke-80 Republik Indonesia.
Jangan ragukan nasionalisme anak negeri. Mereka tidak kehilangan cinta pada tanah air—mereka hanya sedang mencari cara baru untuk menyatakan itu.***
Ali Wardhana Isha, Seorang Petani, Kolumnis Tetap di Mevin.ID





















