DI SEBUAH malam yang tenang di beranda rumah kampung, seorang pemuda bernama Dudung menyimpan kegelisahan yang tak bisa ia tumpahkan ke media sosial.
Di sampingnya, seorang kiai tua yang bersahaja, Kiai Asep, menatap langit malam sambil memegangi cangkir teh hangat.
Mereka bicara soal agama. Tapi bukan soal dalil, mazhab, atau fatwa. Mereka bicara soal rasa takut dan kehilangan makna.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kiai, saya makin bingung. Orang-orang rebutan surga sambil saling bakar pakai dalil. Kok agama makin kayak kompetisi, ya?”
Dudung, yang besar dalam kultur religius, mulai lelah dengan atmosfer religius yang penuh kecemasan.
Surga jadi rebutan. Neraka jadi senjata. Ayat-ayat dijadikan peluru. Tapi Kiai Asep tak kaget.
“Karena banyak yang lupa, agama itu jalan, bukan tujuan. Tapi banyak yang menyembah jalannya, bukan Tuhannya.”
Ketika Agama Hanya Jadi Pagar
Banyak dari kita tumbuh dikelilingi larangan. Takut ini, takut itu. Tapi jarang diajak merasakan kehadiran Tuhan yang lembut dan dekat.
Kita diajari takut dosa, tapi tak diajari mencintai kebaikan. Akhirnya, banyak yang hidupnya seperti Dudung bilang:
“Takut neraka. Takut salah. Tapi juga nggak benar-benar hidup.”
Dan Kiai Asep menjawab dengan dalam:
“Kalau hidupmu cuma buat menghindari neraka dan mengejar surga, berarti kamu sedang cari aman, bukan cari Tuhan.”
Agama Bukan Tujuan, Tapi Perahu
Saat Dudung bertanya, “Lalu buat apa saya beragama, Kiai?” — Kiai Asep menjawab dengan bijak:
“Agar kamu bisa sampai. Agama itu perahu, bukan pelabuhan.”
Betapa banyak orang terjebak di perahunya. Sibuk mengagumi bentuk kapal, melupakan lautan makna yang harus diselami.
Mereka berhenti pada simbol, tapi tak sampai pada Sang Tujuan.
Saat Jalan Hakikat Dicap Sesat
Dudung pun curhat bahwa orang-orang yang bicara makna dan hakikat sering dicap sesat. Kiai Asep mengangguk pelan.
“Karena sebagian penjaga agama lebih takut kehilangan kuasa daripada kehilangan makna.”
Dan kalimat yang paling menampar datang kemudian:
“Syariat dan hakikat bukan musuh, tapi saudara.”
Jangan Tinggalkan. Hiduplah di Dalamnya.
Dudung sempat ragu, apakah ia harus meninggalkan semua ini?
“Bukan ditinggal. Ditembus. Diselami. Dihidupi,” jawab Kiai Asep.
Dan saat Dudung takut akan kehilangan kendali jika tak lagi hidup dalam ketakutan, sang kiai menenangkan:
“Justru saat itu kamu mulai merdeka. Bukan bebas liar, tapi sadar.”
Karena Dunia Lebih Nyaman dengan Umat yang Takut
Kiai Asep lalu menyimpulkan satu hal penting:
“Dunia lebih nyaman dengan umat yang takut, bukan yang tercerahkan.”
Mereka yang takut mudah diatur. Tapi mereka yang tercerahkan—yang hidup dengan kesadaran, cinta, dan kebebasan spiritual—sering dianggap berbahaya.
Karena mereka tak mudah dipolitisasi, tak mudah ditakut-takuti.
Namun, seperti kata Kiai Asep:
“Kamu masih muda, Dudung. Jangan cuma mewarisi agama. Temukan maknanya. Hidupilah.”
Dan kalimat terakhir Kiai Asep malam itu, menjadi penutup yang lembut tapi dalam:
“Bagimu agamamu, bagiku kau saudaraku.”
***
Di tengah zaman yang ramai dengan ceramah dan minim perjumpaan, kisah Dudung dan Kiai Asep mengingatkan kita bahwa agama seharusnya membawa pulang, bukan menyesatkan.
Bahwa takut adalah awal, tapi kesadaran dan cinta adalah tujuan.
Jangan cuma mewarisi agama. Temukan cahayanya. Karena Tuhan bukan milik siapa-siapa, tapi bisa dijumpai oleh siapa saja—termasuk kamu, yang malam ini sedang duduk sendiri dan mulai bertanya,
“Untuk apa aku beragama sebenarnya?”
Jika kamu pernah merasa seperti Dudung, tenang. Kamu tidak sendiri. Dan mungkin, sudah waktunya kamu bertemu “Kiai Asep”-mu sendiri.***
Penulis : Bar Bernad