Biar Birokrat Puasa, Rakyat Pesta, Etika Publik dan Kesadaran Rakyat di Tengah Krisis Fiskal

- Redaksi

Sabtu, 11 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat

Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat

DI SAAT banyak kepala daerah mengeluh karena anggaran dipangkas pusat, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi justru memilih jalannya sendiri.

Dengan nada yang tenang tapi tegas, ia mengumumkan sesuatu yang terdengar gila di telinga birokrasi:

“Saya bersumpah, anggaran jalan saya naikkan jadi Rp3,5 triliun. Biar birokrat puasa, rakyat pesta.”

Kalimat itu meluncur bukan sekadar retorika, melainkan pernyataan sikap.

Sebuah cara pandang baru terhadap kekuasaan — bahwa jabatan bukan tempat bersembunyi dari kesulitan rakyat, melainkan ruang untuk ikut menanggungnya.

Politik yang Mengencangkan Ikat Pinggang

Dedi tahu, pemotongan dana transfer ke daerah sebesar Rp2,45 triliun akan menimbulkan guncangan.

Namun alih-alih menunda pembangunan, ia justru memilih menghapus kemewahan birokrasi:
tidak ada jamuan makan, tidak ada perjalanan dinas berlebihan, bahkan tidak ada lagi pendingin ruangan di kantor pemerintah.

Pada perayaan Hari Jadi Jawa Barat tahun depan, jamuan utama hanya air putih.

“Minuman paling jujur,” katanya berseloroh. Tapi dalam seloroh itu ada kritik halus terhadap kebiasaan lama — bahwa sering kali, pesta pejabat justru lahir dari perut rakyat yang lapar.

Dari Kantor yang Dingin ke Jalan yang Panas

Filosofi Dedi sederhana: uang pajak rakyat harus kembali ke rakyat.
Ia menolak logika birokrasi yang menjadikan APBD sebagai arena kenyamanan pegawai negeri.

“Yang bayar pajak itu rakyat yang punya motor dan mobil. Mereka berhak atas jalan yang baik,” ujarnya.

Ia tak ingin pajak yang dikumpulkan dari keringat masyarakat berakhir menjadi pendingin udara atau dekorasi acara seremonial.

Lebih baik jalan diperbaiki, meski kantor jadi panas.

Moralitas di Tengah Krisis

Kebijakan Dedi ini mungkin terlihat ekstrem. Tapi justru di situlah pesonanya: ia menawarkan moralitas baru di tengah kelumpuhan sistemik.

Dalam politik Indonesia yang sering sibuk mencari alasan, Dedi memilih menjadi contoh.

Ia menyatakan dengan tindakan bahwa keprihatinan bukan kelemahan, melainkan kekuatan.

Tan Malaka, dalam Madilog, pernah menulis:

Kita tidak bisa membangun dunia baru dengan pikiran lama.”

Kutipan itu seolah menggambarkan posisi Dedi hari ini.

Ia berusaha menggeser cara berpikir birokrasi dari orientasi kenyamanan ke orientasi kemanfaatan; dari gaya hidup pejabat ke logika rakyat pekerja.

Air Putih dan Kesadaran Baru

Air putih di podium pemerintahan mungkin tampak sepele. Tapi di balik kesederhanaan itu tersimpan pesan besar: kejernihan, kesetaraan, dan kesadaran.

Air putih tak memilih siapa yang meminumnya — pejabat atau rakyat, kaya atau miskin, semuanya sama.

Barangkali di situlah makna terdalam dari simbol yang Dedi pilih: menegakkan kesadaran bahwa pejabat bukan kelas yang lebih tinggi, hanya pelayan dengan tanggung jawab lebih besar.

Efisiensi Sebagai Revolusi Kecil

Banyak yang lupa bahwa revolusi tak selalu datang dengan senjata.
Kadang ia hadir lewat penghematan, lewat keberanian seorang pemimpin memotong fasilitasnya sendiri agar ruang fiskal terbuka bagi yang lebih membutuhkan.

Dedi tampaknya memahami hal itu. Ia tidak sedang menentang pusat, tapi menentang mentalitas lama dalam birokrasi — mentalitas yang lupa pada rakyat.

@suararakyatindonesia7Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tidak mau ambil pusing terkait kebijakan pemerintah pusat yang memangkas dana transfer ke daerah (TKD) pada tahun anggaran 2026. Pemprov Jawa Barat diketahui akan kehilangan dana transfer senilai Rp 2,458 triliun akibat kebijakan tersebut. Alih-alih mengeluh, Dedi justru menegaskan akan meningkatkan alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur di Jawa Barat. Dedi bahkan bersumpah akan menaikkan anggaran untuk pembangunan infrastruktur meski dana dari pusat berkurang. Untuk realisasinya, Dedi menegaskan, birokrat harus hidup prihatin sebagai gantinya. – Selengkapnya kunjungi website dengan klik link di bio atau download aplikasi di AppStore dan Google Play Store. #inilahNews #DediMulyadi #JawaBarat #Inilahcom #titiktengah♬ suara asli – suara rakyat – suara rakyat

Ia tahu, tak ada kemajuan tanpa pengorbanan, dan tak ada pembangunan tanpa kejujuran.

“Biar birokrat puasa, rakyat pesta,” katanya.

Dan di balik kalimat itu, tersirat kesadaran revolusioner: bahwa pesta sejati bukan milik penguasa, tapi milik rakyat yang akhirnya merasakan hasil dari uangnya sendiri.

***

Dari kebijakan revolusioner ini, kita sebagai rakyat harus apresiasi pada “gebrakan baru” Sang Gubernur yang kerap dipanggil “Bapak Aing”.

Di tengah krisis fiskal dan defisit moral birokrasi, langkah Dedi Mulyadi menjadi cermin bagi pejabat publik lain:
apakah mereka siap hidup sederhana untuk membebaskan rakyat dari beban yang mereka ciptakan sendiri?

Kebijakan Dedi bukan sekadar efisiensi anggaran — tapi upaya membangun kesadaran baru, sebagaimana kata Tan Malaka:

Kemerdekaan bukan pemberian, melainkan hasil perjuangan kesadaran.”

Dan barangkali, kesadaran itu kini sedang dimulai — dari segelas air putih di meja birokrasi.***

Facebook Comments Box
Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Gotong Royong Digital: Mahkota Kebaikan dan Ancaman di Baliknya
Arsitek Sejati Kehidupan: Menciptakan Kesempurnaan dari Dalam Diri ala Socrates
Tumpukan Sampah yang Tak Kunjung Usai
Ketika Korban Bullying Menemukan “Pelarian” di Dunia Gelap Digital
Manusia, Anjing, dan Pengkhianatan Diri: Sebuah Refleksi Atas Homo Duplex
Ketersendirian Pahlawan dan Mandat untuk Menang: Filosofi Eksistensialisme dalam Perjuangan Pribadi
Ketangguhan Desa dan Sinergi Pentahelix Hadapi Krisis Iklim
Marsinah, Antara Pengakuan dan Penghapusan

Berita Terkait

Jumat, 14 November 2025 - 11:59 WIB

Gotong Royong Digital: Mahkota Kebaikan dan Ancaman di Baliknya

Jumat, 14 November 2025 - 09:25 WIB

Arsitek Sejati Kehidupan: Menciptakan Kesempurnaan dari Dalam Diri ala Socrates

Jumat, 14 November 2025 - 08:02 WIB

Tumpukan Sampah yang Tak Kunjung Usai

Kamis, 13 November 2025 - 19:21 WIB

Ketika Korban Bullying Menemukan “Pelarian” di Dunia Gelap Digital

Kamis, 13 November 2025 - 15:25 WIB

Manusia, Anjing, dan Pengkhianatan Diri: Sebuah Refleksi Atas Homo Duplex

Berita Terbaru

Humaniora

Gotong Royong Digital: Mahkota Kebaikan dan Ancaman di Baliknya

Jumat, 14 Nov 2025 - 11:59 WIB