Jakarta, Mevin.ID – Apa yang membuat seorang putra tunggal seorang miliarder memilih untuk meninggalkan semua kemewahan dan hidup sederhana sebagai seorang biksu? Jawaban itu datang dari kisah luar biasa Biksu Buddha Yang Mulia Ven Ajahn Siripanyo, yang dengan penuh keyakinan memilih jalan spiritual di tengah kehidupan materialistis.
Ajahn Siripanyo bukanlah nama yang asing bagi mereka yang mendalami ajaran Buddha, namun siapa sangka bahwa ia berasal dari keluarga yang begitu kaya raya. Putra dari Ananda Krishnan, seorang miliarder Malaysia dengan kekayaan senilai US$ 5 miliar (sekitar Rp 79 triliun), Ajahn Siripanyo memiliki dunia yang serba ada.
Ayahnya, seorang pengusaha sukses dengan kerajaan bisnis yang mencakup telekomunikasi, satelit, dan media, adalah salah satu orang terkaya di Malaysia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, meski berada di puncak kehidupan mewah, ajaran Buddha yang mendalam dan semangat untuk mencari pencerahan membuat Ajahn Siripanyo memilih jalan yang tak biasa.
Pada usia 18 tahun, ia membuat keputusan besar untuk meninggalkan kenyamanan hidup dan menjalani kehidupan sebagai biksu.
Keputusan itu, meskipun mengejutkan keluarga, diterima dengan penuh rasa hormat karena merupakan pilihan pribadi yang diyakini akan membawanya menuju pemahaman lebih dalam tentang ajaran Buddha.
Selama lebih dari dua dekade, Ajahn Siripanyo hidup sebagai biksu hutan, yang utamanya bermarkas di Biara Dtao Dum, sebuah tempat spiritual yang terletak di perbatasan Thailand-Myanmar.
Ia memilih hidup sederhana, bergantung pada kemurahan hati orang lain untuk bertahan hidup, jauh dari kehidupan gemerlap yang sebelumnya menjadi bagian dari kesehariannya.
Ajahn Siripanyo tidak hanya dikenal sebagai seorang biksu, tetapi juga sebagai sosok yang memiliki kemampuan luar biasa dalam berbagai bahasa.
Ia menyelesaikan pendidikan di Inggris dan fasih dalam setidaknya delapan bahasa. Paparan terhadap berbagai budaya ini membentuk pandangan dunianya, memperdalam pemahamannya tentang ajaran Buddha, dan memperkuat tekadnya untuk menjalani hidup yang lebih bermakna.
Meski menghabiskan sebagian besar waktunya dalam kesunyian dan kedamaian, Ajahn Siripanyo sesekali mengunjungi ayahnya. Kunjungan-kunjungan itu, meski singkat, tetap berjalan sesuai dengan ajaran Buddha yang menekankan pentingnya ikatan kekeluargaan tanpa terjerat oleh materialisme.
Kisah Ajahn Siripanyo ini bisa dibilang merupakan contoh nyata dari keputusan yang jarang diambil oleh orang-orang yang terlahir dengan segala kemewahan.
Seperti tokoh dalam novel The Monk Who Sold His Ferrari, perjalanan spiritualnya bukan hanya sekadar lari dari harta, tetapi juga pencarian akan makna hidup yang lebih mendalam.
Ajahn Siripanyo membuktikan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari kemewahan atau kekayaan materi, tetapi dari kedamaian batin dan pencapaian pencerahan spiritual.***