Jakarta, Mevin.ID – Laporan terbaru dari media internasional kembali menyoroti persoalan pelik di tanah air: pengangguran muda yang kian mengkhawatirkan.
Dalam laporannya, dan mencatat tingkat pengangguran muda Indonesia telah mencapai 17,3%. Angka ini hanya terpaut sedikit dari India (17,6%) dan berada di atas China (16,5%)—menjadikan Indonesia salah satu negara dengan pengangguran muda tertinggi di Asia.
Masalah ini bukan sekadar soal angka statistik. Ia mencerminkan tekanan besar di pasar tenaga kerja nasional. Generasi muda, terutama yang baru lulus sekolah atau kuliah, menghadapi tantangan berat saat mencoba memasuki dunia kerja.
Menurut riset berjudul “Asia Faces Rising Youth Unemployment Challenge”, tingkat pengangguran muda di kawasan Asia kini dua hingga tiga kali lipat dari rata-rata nasional.
Penyebabnya kompleks: pertumbuhan ekonomi yang tak seimbang dengan penciptaan lapangan kerja, disrupsi teknologi, serta otomatisasi dan kecerdasan buatan yang menggeser banyak jenis pekerjaan di sektor manufaktur dan jasa.
Di Indonesia, lebih dari separuh tenaga kerja masih bertumpu pada sektor informal. Pekerjaan sambilan dengan upah rendah dan tanpa jaminan sosial menjadi “penopang” hidup banyak keluarga muda.
Kondisi ini memperburuk prospek jangka panjang, terutama dengan 12,7 juta anak muda yang akan masuk pasar kerja dalam satu dekade ke depan.
Gejolak sosial pun kian terasa. Protes besar pada Agustus lalu, yang semula dipicu oleh isu tunjangan anggota parlemen, melebar menjadi luapan keresahan ekonomi dan ketimpangan akses kerja. Situasi serupa juga terjadi di China—lulusan universitas melonjak, tapi peluang kerja semakin sempit.
Laporan itu memperingatkan: jika pemerintah gagal melakukan reformasi struktural, bonus demografi bisa berubah menjadi beban demografi. Solusi yang ditawarkan meliputi penguatan pelatihan vokasi, dukungan kewirausahaan muda, dan pengurangan ketergantungan pada pekerjaan informal.
Selain faktor ekonomi, korupsi dan nepotisme juga disebut sebagai “penyakit kronis” yang menghambat terciptanya sistem kerja adil. Banyak anak muda merasa kesempatan kerja lebih ditentukan oleh koneksi ketimbang kompetensi.
“Protes generasi muda di Asia adalah tanda frustrasi terhadap sistem ekonomi dan politik yang tidak berpihak,” tulis laporan tersebut.
Kini, tantangan terbesar bagi pemerintah Indonesia bukan hanya menyediakan pekerjaan—melainkan memastikan masa depan yang benar-benar layak dipercaya oleh generasi mudanya.***




















