Cirebon, Mevin.ID – Mengapa Rusia dan Ukraina banyak menanam bunga matahari? Jawabannya tidak hanya soal minyak nabati atau camilan sehat, tetapi juga karena bunga ini menyimpan kekuatan tersembunyi, kemampuan menyerap zat radioaktif di tanah dan air.
Kita ingat tragedi Chernobyl pada 26 April 1986, ketika reaktor nuklir di dekat Pripyat, Ukraina—yang kala itu masih bagian dari Uni Soviet—meledak.
Ribuan orang terpaksa mengungsi, dan wilayah sekitarnya terpapar zat radioaktif yang mengancam kehidupan manusia, flora, dan fauna.
Sejak saat itu, para ilmuwan mencari tanaman yang mampu menetralisasi tanah dan air tercemar radiasi. Hasilnya mengejutkan: bunga matahari (Helianthus annuus) terbukti efektif menyerap cesium dan strontium dari tanah dan air.
Maka tak heran jika Rusia dan Ukraina—dua negara pemasok terbesar bunga matahari dunia—menjadikannya bagian dari ekosistem restorasi.
Lebih dari Sekadar Tanaman Hias
Bunga matahari dikenal karena kelopak kuningnya yang lebar dan kemampuannya mengikuti arah cahaya (heliotropisme). Di Prancis, ia disebut “pengelana matahari”. Namun, manfaatnya jauh melampaui estetika.
Bunga ini terbagi dalam beberapa kelompok berdasarkan fungsi:
- Kelompok Oil (Minyak): Biji bercangkang tipis, menghasilkan 48–52% minyak, ideal untuk produk kecantikan dan konsumsi.
- Kelompok Food and Feed: Untuk camilan (biji besar dan mulus), serta pakan ternak (biji kecil dan padat).
- Kelompok Organik: Digunakan sebagai pupuk, pakan, dan bahkan rokok herbal.
- Kelompok Hias: Dimanfaatkan sebagai objek wisata, edukasi pertanian, dan swafoto.
Sayangnya, di Indonesia bunga matahari belum dimaksimalkan. Padahal, kandungan nutrisinya kaya akan vitamin E, magnesium, serat, dan selenium—potensial untuk dijadikan bahan makanan sehat, produk kecantikan, dan bioenergi.

Jungjang Menangkap Sinar Peluang
Kabar baiknya, sebuah desa di Kabupaten Cirebon justru menangkap peluang ini secara visioner.
Desa Jungjang, Kecamatan Arjawinangun, dengan penduduk 11.647 jiwa dan keberagaman etnis (Jawa, Sunda, Tionghoa), dikenal sebagai desa toleran dengan tiga tempat ibadah utama—Gereja, Klenteng, dan Masjid—yang berdiri berdampingan.
Kini, lewat BUMDesa Kiansantang, Jungjang bersiap menjadi desa percontohan berbasis ekonomi hijau dan edukatif.
Direktur BUMDesa, Radi Ismail, menyatakan: “Kami ingin membangun BUMDesa modern dan menjadi role model pembangunan ekonomi desa yang berbasis potensi lokal dan kolaborasi.”
Satu Hektare Harapan
Dalam masterplan besar yang tengah dijalankan, budidaya bunga matahari seluas satu hektare menjadi proyek unggulan. Lokasi ini akan terintegrasi dengan:
- Peternakan domba dan burung puyuh
- Bank pakan dan pupuk organik
- Pasar ternak dan pusat kuliner nusantara
- Kawasan wisata edukasi dan spot swafoto
- Revitalisasi pasar desa
Proyek ini menggandeng berbagai pihak: dosen dari ITB dan IPB, alumni Unpad, Ikopin University, NHI Bandung, Unsoed Purwokerto, serta NGO seperti The Ihakkie Foundation, Rochdale Institute, dan Mevin.ID.
Potensi Global, Gerakan Lokal
Lingga Kawistara, peneliti dari The Sunflower Foundation, menegaskan:
“Indonesia belum melihat potensi bunga matahari sebagai minyak ramah lingkungan dan penyerap karbon dioksida. Padahal, pasar global sangat terbuka.”
Dengan langkah inovatif yang digagas Desa Jungjang, bunga matahari bukan sekadar tanaman musim. Ia menjadi simbol harapan baru untuk ketahanan pangan, pemulihan ekologi, dan ekonomi desa yang berdaya saing tinggi.***
Penulis : Ali Wardhana Isha





















