BURSA Kerja Khusus (BKK) di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sejatinya adalah jantung dan urat nadi institusi vokasi. Ia diharapkan menjadi garda terdepan yang menjembatani kepentingan tiga pihak sekaligus: permintaan riil industri, harapan siswa dan orang tua, serta reputasi sekolah dalam mencetak lulusan yang benar-benar siap kerja.
Namun yang terjadi di banyak SMK justru sebaliknya. BKK hanya menjadi pelengkap administratif, hadir sebagai formalitas belaka dalam struktur organisasi sekolah. Padahal, sehebat apa pun proses pembelajaran dan pelatihan yang dilakukan, semua akan menjadi sia-sia bila ujung prosesnya — penyaluran kerja — tidak berjalan.
Di tengah lonjakan pengangguran lulusan SMK, perhatian terhadap keberadaan dan fungsi strategis BKK masih sangat minim. Manajemen sekolah cenderung fokus pada aspek akademik dan kegiatan seremonial, lupa bahwa keberhasilan sesungguhnya terukur dari berapa banyak lulusan yang terserap ke dunia kerja — bukan hanya dari kelulusan di atas kertas.
BKK seharusnya menjadi “divisi intelijen industri” di sekolah. Ia harus proaktif menjalin kemitraan dengan perusahaan, memahami kebutuhan kompetensi yang berubah cepat, dan menjadi penyambung komunikasi antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Namun yang sering terjadi, BKK dibiarkan berjalan sendiri, tanpa anggaran memadai, tanpa dukungan SDM yang kompeten, bahkan tanpa suara dalam pengambilan keputusan strategis sekolah.
Realitas ini menelanjangi kesalahan fatal dalam paradigma pendidikan vokasi: menganggap penempatan kerja sebagai tambahan, bukan tujuan utama. Padahal, sekolah kejuruan didirikan bukan untuk mencetak sarjana teori, melainkan tenaga kerja siap pakai yang bisa langsung berkontribusi di lini produksi dan pelayanan.
Sudah waktunya manajemen sekolah membuka mata. BKK bukan ruang arsip lowongan kerja, tapi harus diperlakukan sebagai ujung tombak perjuangan sekolah dalam memenangkan kepercayaan industri dan masa depan siswanya. Tanpa BKK yang hidup dan digerakkan secara profesional, SMK hanya akan menjadi pabrik pengangguran berseragam.
Sekolah bisa bangga mencetak siswa dengan nilai sempurna, tapi bila mereka hanya pulang membawa ijazah dan keresahan, maka sistemnya telah gagal. Dan kegagalan itu, sering kali dimulai dari sikap abai terhadap peran krusial BKK.***
Dr. Deden Sukirman, MM, Pemerhati Pendidikan tinggal di Bandung
Penulis : Dr. Deden Sukirman, MM





















