Jakarta , Mevin.ID – Bayangkan 82,9 juta butir telur dikonsumsi setiap hari. Jumlah yang nyaris mustahil dibayangkan secara kasat mata, namun inilah kenyataan dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini menjadi andalan pemerintah dalam menjawab tantangan gizi anak dan kemiskinan secara bersamaan.
Program ini bukan sekadar tentang membagikan makanan. Ia adalah denyut harapan di dapur-dapur sederhana yang mulai berdiri di wilayah-wilayah Tertinggal, Terluar, dan Terjauh (3T). Dan telur – sumber protein yang relatif murah dan bergizi – menjadi jantung dari menu harian MBG.
“Kalau kita ingin anak-anak makan satu telur per hari, maka kita butuh sekitar 82,9 juta butir telur. Artinya, kita harus punya 100 juta ekor ayam untuk mendukung ini,” ujar Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana, Senin (16/6/2025), usai penandatanganan MoU dengan Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam situasi normal, angka ini terdengar luar biasa besar. Namun di balik angka-angka itu ada perjuangan sistemik untuk menghubungkan peternak lokal, dapur masyarakat, hingga perut anak-anak sekolah di pelosok negeri.
Ketika Dapur Jadi Harapan
BGN dan BP Taskin sepakat membangun 1.000 dapur MBG di wilayah 3T. Ini bukan sekadar proyek infrastruktur, tetapi sebuah desain sosial yang menempatkan masyarakat miskin sebagai bagian dari rantai produksi, bukan semata penerima manfaat.
“Kami ingin masyarakat miskin ikut menanam sayur, beternak ayam, bahkan ikut memasak. Dapur ini tidak hanya mengenyangkan, tapi juga memberdayakan,” kata Kepala BP Taskin Budiman Sudjatmiko.
Dalam kerja sama ini, BP Taskin mengelola suplai, sementara BGN menangani distribusi makanan ke titik-titik sekolah dan fasilitas publik.
Toleransi untuk Wilayah 3T
Budiman mengakui bahwa tidak semua standar bisa diterapkan kaku di wilayah terpencil. Di daerah yang penduduknya hanya ratusan orang, kapasitas dapur bisa lebih fleksibel.
“Kalau biasanya satu dapur harus produksi 3.000 makanan per hari, maka di daerah 3T yang lebih sepi penduduk, angka itu bisa diturunkan. Demikian juga dengan harga pokok. Kita sesuaikan dengan kenyataan di lapangan,” jelasnya.
Kebijakan adaptif ini penting untuk memastikan bahwa keterpencilan bukan alasan untuk tertinggal, dan bahwa MBG bisa hadir dari kota hingga kampung-kampung perbatasan.
Lebih dari Sekadar Telur
Telur hanyalah awal. Program MBG adalah refleksi dari kebijakan negara yang ingin menyeimbangkan gizi, keadilan sosial, dan pertumbuhan ekonomi lokal. Hingga saat ini, program ini telah menyerap sekitar 68.000 tenaga kerja, di mana 60 persen adalah ibu-ibu rumah tangga.
Dari ayam hingga anak-anak, dari dapur ke desa, MBG sedang menjahit narasi baru tentang Indonesia yang lebih sehat dan lebih inklusif.***