CAFÉ SOCIETY adalah klub malam pertama di New York City yang terintegrasi secara rasial. Klub ini didirikan oleh Barney Josephson, seorang mantan penjual sepatu, dan dibuka pada tahun 1938 di Sheridan Square, Greenwich Village.
Dengan lingkungan yang dikenal liberal secara politik, lokasi ini menjadi tempat yang ideal bagi Josephson untuk mewujudkan visinya menciptakan klub progresif yang menentang diskriminasi rasial dan sosial.
Awal Berdirinya Café Society
Barney Josephson sering mengunjungi klub jazz ternama seperti Cotton Club pada tahun 1920-an dan 1930-an. Ia terinspirasi oleh musik yang luar biasa di sana, tetapi kecewa dengan segregasi yang membatasi penonton kulit hitam.
Atas saran saudaranya, ia meninggalkan bisnis sepatu di New Jersey dan pindah ke New York untuk membuka klub yang berbeda dari yang lain—sebuah tempat di mana semua orang, tanpa memandang ras, bisa menikmati musik dan budaya bersama.
Josephson mendirikan klubnya di ruang bawah tanah sebuah gedung di Sheridan Square, di mana harga sewa lebih terjangkau dan komunitasnya lebih menerima ide-ide progresif.
Café Society pun lahir, menjadi tempat yang tidak hanya menampilkan musik jazz kelas dunia, tetapi juga menjadi ruang bagi diskusi politik dan pergerakan sosial.
Panggung bagi Musisi dan Intelektual Ternama
Café Society menjadi rumah bagi banyak musisi jazz legendaris, termasuk Duke Ellington, Count Basie, Nat King Cole, John Coltrane, Miles Davis, Ella Fitzgerald, dan Lena Horne. Tak hanya itu, klub ini juga menarik perhatian para intelektual Afrika-Amerika berpengaruh seperti Langston Hughes, Paul Robeson, Richard Wright, dan Sterling Brown.
Salah satu momen paling bersejarah di Café Society adalah saat Billie Holiday pertama kali membawakan lagu “Strange Fruit” pada tahun 1939. Lagu ini, yang mengutuk praktik hukuman gantung rasial di Amerika, menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan.
Keberanian Café Society dalam menampilkan lagu dengan pesan politik kuat menjadikannya lebih dari sekadar tempat hiburan—melainkan pusat bagi gerakan sosial.
Kemunduran dan Penutupan
Namun, pandangan politik kiri yang diusung Café Society menjadi bumerang bagi kelangsungan bisnisnya. Selama Perang Dunia II dan awal Perang Dingin, konservatisme mulai menguat di Amerika Serikat.
Klub ini mulai dicurigai memiliki hubungan dengan Partai Komunis, terutama karena keterlibatan saudara Barney, Leon Josephson, yang dikenal sebagai anggota Partai Komunis dan dikaitkan dengan operasi intelijen Soviet.
Pada tahun 1941, Direktur FBI J. Edgar Hoover membuka berkas tentang John Hammond, direktur musik Café Society.
Selanjutnya, FBI juga menyelidiki Barney Josephson dan mengumpulkan berkas hingga lebih dari 2.100 halaman. Tekanan politik ini berdampak buruk pada bisnisnya.
Berita tentang hubungan Leon Josephson dengan Partai Komunis semakin menyebar, membuat Café Society kehilangan banyak pelanggan. Pendapatan klub menurun drastis hingga 45%, menyebabkan kerugian besar. Akhirnya, pada tahun 1949, Barney Josephson memutuskan untuk menjual klubnya, menandai berakhirnya era Café Society.
Warisan yang Tak Terlupakan
Meskipun hanya beroperasi selama lebih dari satu dekade, Café Society meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah musik dan perjuangan sosial di Amerika. Klub ini tidak hanya menjadi tempat bagi musisi legendaris untuk tampil, tetapi juga berperan dalam melawan rasisme dan memperjuangkan kesetaraan.
Hingga kini, nama Café Society tetap dikenang sebagai simbol keberanian dalam menghadapi ketidakadilan—sebuah tempat di mana musik, politik, dan keberagaman bertemu dalam satu panggung yang sama.***





















