FILM “Women from Rote Island” (dikenal juga dengan Perempuan Berkelamin Darah) bukanlah sekadar tontonan, melainkan monumen duka yang didirikan di atas kejujuran yang pahit.
Ia adalah karya sinema yang mengganggu sekaligus penting, yang menelanjangi jurang pemisah antara keindahan eksotis alam Pulau Rote dengan kebusukan moral yang mengakar dalam sistem patriarki adat.
Film ini adalah sebuah dakwaan keras yang berani ditujukan langsung ke wajah masyarakat yang bersikap permisif terhadap kekerasan seksual.
Jalan Cerita: Tragedi yang Berulang dan Lingkaran Trauma
Jalan cerita film ini dibangun di sekitar trauma yang bersifat berulang dan berantai, berpusat pada keluarga Orpa, seorang janda yang baru ditinggal mati suaminya.
1. Luka di Perantauan:
Puncak krisis dimulai dengan kepulangan Martha, putri Orpa, dari Malaysia. Martha, yang pergi sebagai TKI ilegal, kembali bukan dengan uang, melainkan dengan luka psikologis dan fisik akibat kekerasan seksual oleh majikannya.
Ini adalah kritik tajam terhadap isu perdagangan manusia dan eksploitasi TKI yang seringkali terabaikan.
2. Pengkhianatan Adat:
Alih-alih menemukan penyembuhan, Martha justru mendapatkan stigma di kampung halamannya.
Perilakunya yang terganggu dianggap sebagai “gila” atau “berbahaya,” yang puncaknya adalah keputusan untuk memasungnya—sebuah ironi di mana rumah yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi penjara.
2. Trauma Berlipat Ganda:
Tragedi semakin dalam ketika Martha, dalam kondisi dipasung, kembali menjadi korban pemerkosaan oleh sosok misterius.
Trauma ini berlanjut pada adik Martha, Bertha, yang kemudian menjadi korban kekerasan fatal setelah mencoba mengungkap kebenatan.
3. Perjuangan Sang Ibu:
Orpa, yang terhimpit antara kewajiban adat (menunda pemakaman suami) dan naluri keibuannya untuk melindungi, menjadi simbol perlawanan.
Ia berjuang bukan di ruang sidang yang modern, melainkan di tengah permusuhan tetua adat dan masyarakat yang menganggap kasus ini sebagai aib yang harus disembunyikan.
Naratif film ini disajikan dengan kecepatan yang lambat, sinematografi yang indah, namun dengan konten yang sangat brutal dan gamblang.
Penggunaan bahasa Rote oleh sebagian besar aktor lokal memberikan lapisan otentisitas yang menusuk.
Makna dan Kritik: Penyakit Patriarki dan Kebisuan Komunitas
Makna film “Women from Rote Island” jauh melampaui isu kekerasan seksual individual. Film ini adalah Analisis Wacana Kritis tentang bagaimana sebuah sistem sosial bekerja untuk menindas perempuan:
1. Budaya yang Menyalahkan Korban (Victim Blaming)
Pesan terkuat film ini adalah bagaimana budaya patriarki di lapisan masyarakat adat mengubah korban menjadi tertuduh.
Martha disiksa, bukan oleh pelaku yang sebenarnya, tetapi oleh sistem yang memandang kehormatan perempuan sebagai tanggung jawab yang harus dijaga oleh perempuan itu sendiri.
Ketika kehormatan itu dirusak (melalui kekerasan), perempuanlah yang dihukum, dipasung, dan dicap gila. Komunitas memilih menutup mata terhadap pelaku dan sebaliknya, memilih menghukum visibilitas trauma.
2. Ketersambungan Kekerasan: Ranah Publik dan Ranah Domestik
Film ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak terbatas pada satu ranah. Martha mengalaminya di ranah publik (perantauan sebagai TKI ilegal) dan di ranah domestik (di dalam rumahnya sendiri dan komunitas adat).
Hal ini menegaskan bahwa bahaya tidak selalu datang dari orang asing, tetapi sering kali datang dari orang-orang terdekat—tetangga, sanak saudara, atau bahkan tokoh yang dianggap terhormat.
3. Keheningan dan Kesunyian Perjuangan
Film ini tidak memberikan solusi yang manis dan instan. Perjuangan Orpa untuk mencari keadilan dilakukan dalam keheningan, kesendirian, dan risiko.
Hal ini merefleksikan realitas banyak korban di Indonesia, di mana hukum formal seringkali tidak berdaya melawan hukum adat yang bias gender dan kebisuan sosial.
Keadilan yang diperoleh Orpa pada akhirnya terasa pahit dan didapatkan melalui cara-cara yang penuh risiko.
Sebuah Pukulan Keras yang Diperlukan
“Women from Rote Island” adalah film yang tidak nyaman dan memang harus demikian. Di tengah dominasi film horor dan komedi di Indonesia, film ini memilih jalur yang sulit: menyajikan realitas sosial yang brutal tanpa dikemas secara melodramatis.
Keberanian sutradara Jeremias Nyangoen dalam menggunakan pemain lokal dan bahasa Rote adalah keputusan cemerlang yang memberikan otentisitas dokumenter pada naratifnya.
Penonton tidak hanya melihat drama, tetapi seolah-olah mengintip ke dalam kehidupan nyata yang tersembunyi.
Film ini berfungsi sebagai katalisator sosial. Ia tidak hanya meminta empati, tetapi menuntut pertanggungjawaban kolektif.
Film ini adalah pengingat bahwa keindahan alam Indonesia, termasuk Rote, menyimpan sisi gelap di mana perempuan masih harus berjuang hanya untuk mendapatkan hak dasar mereka untuk merasa aman dan tidak dikhianati oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Kemenangan film ini di FFI dan perjalanannya menuju Oscar adalah kemenangan bagi isu kekerasan seksual yang diangkat ke panggung global, memaksa kita untuk melihat ke dalam diri dan bertanya: Seberapa manusiawi kita sebagai sebuah komunitas ketika kita gagal melindungi yang paling rentan?***





















