Jakarta, Mevin.ID – Sebuah babak baru perjuangan buruh telah dimulai. Melalui Forum Urun Rembuk Nasional, serikat-serikat pekerja dari berbagai sektor, termasuk ASPEK Indonesia, sepakat mendorong revisi total Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Bukan sekadar kembali ke masa lalu, melainkan melahirkan regulasi baru yang lebih manusiawi, adil, dan berpihak pada pekerja.
“Kita tidak ingin hanya kembali ke UU No. 13 Tahun 2003. Kita butuh terobosan. Buruh bukan penghambat investasi. Negara harus hadir!”
— Tri Asmoko Aripan, Sekjen ASPEK Indonesia
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa arah perjuangan serikat pekerja kini semakin strategis: menghadirkan negara yang berpihak, bukan sekadar mengkritik.
Lebih dari Sekadar Revisi: Ini Revolusi Sosial Diam-Diam
Dalam draft Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang telah disusun secara kolektif, terdapat langkah-langkah konkret dan progresif yang selama ini nyaris tak tersentuh oleh sistem:
- Hubungan kerja yang berkeadilan dan transparan.
- Outsourcing yang manusiawi dan berlandaskan kepastian hukum.
- Kompensasi pasca hubungan kerja, termasuk pesangon, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak lainnya secara jelas dan tegas.
Namun ada satu hal yang menjadi sorotan penting:
pengakuan hukum terhadap pekerja platform digital.
“Pekerja ojek online, kurir aplikasi, content creator digital—mereka ini bukan algoritma, mereka manusia yang bekerja keras.” kata Tri Asmoko
Dari Ojol ke Ojolahi: Ketika Buruh Tak Lagi Tak Terlihat
Untuk pertama kalinya dalam sejarah perjuangan ketenagakerjaan, draft UU ini mengakui eksistensi dan hak pekerja berbasis aplikasi. Mereka yang selama ini bekerja tanpa kontrak, tanpa asuransi, tanpa perlindungan hukum, akan memiliki standar perlindungan minimum: dari pengakuan status kerja, jaminan sosial, hingga hak atas kompensasi yang layak.
Komite Pengawas Ketenagakerjaan: Lahirnya “Satpam Baru” di Dunia Kerja
Salah satu gagasan revolusioner dalam draft ini adalah pembentukan Komite Pengawas Ketenagakerjaan — badan independen yang tak hanya mengawasi, tapi juga menindak tegas pelanggaran ketenagakerjaan.
“Pengawasan selama ini lemah. Banyak hak buruh dilanggar, tapi tak ada yang benar-benar membela. Kita butuh sistem baru yang kuat, tegas, dan berdiri bersama buruh,” ungkap Tri.
Di tengah gempuran otomatisasi, platformisasi, dan fleksibilisasi pasar kerja, keberanian serikat-serikat pekerja untuk menyusun ulang sistem ketenagakerjaan Indonesia adalah langkah historis.
Ini bukan sekadar soal pesangon atau upah minimum. Ini adalah tentang masa depan kerja—siapa yang dilindungi, siapa yang dilupakan.
Jika DPR RI sungguh mendengar, dan tidak hanya berpihak pada pemodal, maka draft revisi ini bisa menjadi tonggak baru Indonesia yang benar-benar berpihak pada “orang-orang yang bangun paling pagi dan pulang paling malam.”***
Penulis : Fathur Rachman
Editor : Pratigto