Dari MANTAB ke MATANG: Ketika Hidup Harus Dibayar dengan Utang

- Redaksi

Selasa, 5 Agustus 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

PASCA pandemi COVID-19, masyarakat Indonesia menciptakan istilah “MANTAB” — Makan Tabungan, sebuah gambaran getir bagaimana banyak orang harus mengandalkan simpanan pribadi untuk bertahan hidup di tengah ekonomi yang mendadak remuk.

PHK massal, usaha kecil tutup, hingga aktivitas ekonomi yang stagnan membuat tabungan menjadi penyelamat terakhir.

Namun, era MANTAB kini telah berlalu. Masalahnya, bukan karena kondisi ekonomi membaik—melainkan karena tabungan masyarakat sudah habis. Lahir lah fase baru yang lebih mengkhawatirkan: MATANG — Makan Utang.

MATANG adalah sinyal bahwa masyarakat kini bukan lagi menguras simpanan, tapi menggadaikan masa depan demi makan hari ini.

Dari Tabungan ke Pinjaman: Transisi yang Terjadi Diam-diam

Bank Indonesia dalam survei Konsumen Juni 2025 mencatat dua hal penting:

  • Rasio tabungan rumah tangga turun menjadi 14,1%, turun 0,8 poin dari bulan sebelumnya.
  • Alokasi pendapatan untuk cicilan justru meningkat, mendekati 11%.

Ini artinya jelas: masyarakat yang sebelumnya bertahan dari tabungan, kini mulai menggantungkan hidup pada utang konsumtif, bahkan untuk memenuhi kebutuhan paling dasar seperti pangan, transportasi, dan sekolah anak.

Tak berhenti di situ:

  • Data OJK mencatat pinjaman daring (pinjol) yang berizin naik 27,9%, mencapai Rp82,59 triliun.
  • Rasio kredit bermasalah (NPL) naik menjadi 3%, sebuah indikasi bahwa kemampuan bayar masyarakat mulai runtuh.
  • Aktivitas di pergadaian naik 32%, menunjukkan warga menjaminkan aset untuk bertahan hidup.

Lantas, apakah ini hanya menimpa kelompok miskin? Tidak. Yang paling terpukul justru kelas menengah, yang selama ini dianggap penopang daya beli nasional.

Kelas Menengah: Dari Penopang Stabilitas Menuju Kelompok Rentan Baru

Kelas menengah Indonesia selama ini dijuluki sebagai “penyangga ekonomi nasional.” Mereka bukan penerima bantuan sosial, bukan pula bagian dari elite kaya raya. Tapi kini, mereka berada di zona abu-abu yang menyesakkan.

Kredit konsumtif, cicilan kendaraan, dan gaya hidup digital (buy now pay later) menjerat mereka di tengah stagnasi pendapatan dan ketidakpastian kerja. Ketika pendapatan tidak naik, tapi kebutuhan tetap jalan, maka utang menjadi solusi yang cepat — sekaligus berbahaya.

Prof. Rahma Gafmi, Guru Besar Ekonomi dari Universitas Airlangga, mengatakan, “Sekarang bukan lagi soal makan tabungan. Masyarakat kita sudah makan utang.”

Lebih dari 352.000 tenaga kerja di-PHK hingga September 2024 (data Kemenaker). Lapangan kerja baru tak sebanding.

Sektor manufaktur melemah, dan indeks PMI Indonesia selama tiga bulan terakhir bertengger di bawah angka 50 — indikator bahwa aktivitas industri sedang lesu.

Mengapa Ini Sangat Mengkhawatirkan?

Karena lebih dari 50% pertumbuhan ekonomi Indonesia disangga oleh belanja rumah tangga (konsumsi domestik).

Bila konsumsi ini ditopang oleh utang, maka kita sedang menciptakan ilusi pertumbuhan yang tidak sehat dan tidak berkelanjutan.

Konsumsi berbasis utang bukan pertumbuhan, tapi penundaan krisis.

Begitu masyarakat mulai gagal bayar, efek domino-nya bukan hanya ke individu, tetapi juga ke sektor keuangan: perbankan, pinjaman digital, koperasi, hingga lembaga keuangan mikro.

MATANG adalah Alarm, Bukan Solusi

Jika pandemi menandai awal dari era “MANTAB”, maka kini kita berada dalam fase MATANG—dan MATANG bukan hanya istilah lucu-lucuan, tapi cerminan realitas sosial ekonomi yang tak bisa diabaikan.

Narasi pemerintah yang menyodorkan proyek-proyek infrastruktur dan koperasi sebagai jawaban masih belum menjawab inti masalah. Yang dibutuhkan masyarakat adalah:

  • Lapangan kerja nyata, bukan sekadar pelatihan daring.
  • Investasi yang menyerap tenaga kerja luas, bukan hanya investor yang membawa alat berat dan teknologi otomatis.
  • Pengawasan ketat terhadap pinjol dan kredit konsumtif.
  • Dukungan kuat terhadap UMKM dan sektor informal yang menyerap 97% tenaga kerja.

Dari MATANG Menuju Mandiri, Mungkinkah?

MATANG bukanlah takdir. Tapi jika tidak segera ditangani, kita sedang berjalan menuju krisis sosial-ekonomi yang lebih dalam.

Ketika masyarakat tak lagi bisa makan tanpa utang, yang runtuh bukan hanya ekonomi—tapi juga harga diri, kepercayaan, dan harapan.

Pemerintah harus segera keluar dari zona nyaman narasi makro. Mulailah mendengar suara-suara dari kantong-kantong krisis. Karena kalau tidak, bangsa ini akan terus terlihat tumbuh di atas data—namun keropos di dalam kenyataan.***

Facebook Comments Box

Penulis : Bar Bernad

Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Pemulihan Lingkungan di Desa Eretan Wetan: Membangun Tata Kelola Lingkungan Berbasis Komunitas
Cermin Sang Pencela: Memahami Diri melalui Kebisingan Orang Lain
Platonis: Menggali Makna Kedekatan Murni Tanpa Romansa
Bandung Tangguh: Mengukir Kota yang Selamat dari Ancaman Multibencana
Pendidikan Kebencanaan Sejak Usia Dini: Belajar dari Jepang, Menyelamatkan Generasi Indonesia
Inggit Garnasih: Perempuan Sunyi yang Menopang Lahirnya Kemerdekaan
Agama dan Dosa Atas Nama Sakral: Sebuah Refleksi Kritis dari Kartini
Bullying di Indonesia: Saat Satu Nyawa Mengungkap Luka Nasional yang Lebih Dalam

Berita Terkait

Rabu, 19 November 2025 - 09:27 WIB

Pemulihan Lingkungan di Desa Eretan Wetan: Membangun Tata Kelola Lingkungan Berbasis Komunitas

Rabu, 19 November 2025 - 07:52 WIB

Cermin Sang Pencela: Memahami Diri melalui Kebisingan Orang Lain

Selasa, 18 November 2025 - 22:29 WIB

Platonis: Menggali Makna Kedekatan Murni Tanpa Romansa

Selasa, 18 November 2025 - 13:16 WIB

Bandung Tangguh: Mengukir Kota yang Selamat dari Ancaman Multibencana

Senin, 17 November 2025 - 14:08 WIB

Pendidikan Kebencanaan Sejak Usia Dini: Belajar dari Jepang, Menyelamatkan Generasi Indonesia

Berita Terbaru

Statue of ancient Greek philosopher Plato in Athens.

Humaniora

Platonis: Menggali Makna Kedekatan Murni Tanpa Romansa

Selasa, 18 Nov 2025 - 22:29 WIB