PARTAI Solidaritas Indonesia (PSI) kembali mencuri perhatian. Kali ini bukan karena pernyataan kontroversial atau manuver politik di media sosial, melainkan keputusan simbolik yang strategis: mengganti logo partai.
Dari bunga mawar yang selama ini menjadi identitas PSI, kini berganti menjadi sosok gajah berkepala merah dengan dominasi warna merah, hitam, dan putih.
Sekilas, ini mungkin tampak seperti rebranding biasa. Namun di balik perubahan visual itu, PSI seolah ingin berkata kepada publik: mereka tak mau lagi hanya dikenal sebagai partai anak muda yang cerewet. Mereka ingin tumbuh dewasa dan siap memikul tanggung jawab politik yang nyata.
Gajah Tak Pernah Lupa — dan PSI Tak Mau Lagi Dianggap Lucu-lucuan
Gajah bukan simbol sembarangan. Dalam banyak budaya, gajah melambangkan kebijaksanaan, kekuatan yang tenang, daya ingat yang tajam, serta kesetiaan terhadap kelompok. Sebuah metafora yang jauh berbeda dibandingkan bunga mawar yang cenderung simbolis, romantis, dan idealistik.
PSI tampaknya ingin mengatakan bahwa mereka sudah selesai dengan fase sebagai partai “suka mengkritik dan doyan tampil”. Kini, mereka ingin menjadi partai yang mampu menahan diri, berpikir panjang, dan setia terhadap nilai-nilai yang mereka bangun sendiri — terutama bila dikaitkan dengan arah baru partai yang semakin jelas mendekat pada figur Presiden ke-7 Joko Widodo.
Dari Simbol ke Realitas Politik: PSI dan Jokowiisme
Perubahan logo ini juga tak bisa dilepaskan dari konstelasi politik nasional. Dalam Kongres PSI 2025, Presiden Jokowi secara terbuka menyatakan akan “bekerja keras dan mendukung penuh” PSI. Ini menunjukkan bahwa PSI tak lagi sekadar partai kecil yang diasosiasikan dengan nama Kaesang. Ia kini sedang dipersiapkan menjadi kendaraan politik baru dari “Jokowiisme”: populisme teknokratis, narasi kesederhanaan, dan manuver kekuasaan yang terukur.
Gajah memang bukan simbol politik yang lazim di Indonesia. Tapi mungkin itu sebabnya PSI memilihnya — ingin tampil berbeda dan memosisikan diri sebagai partai “baru” yang tak terikat ideologi lama seperti nasionalisme arus utama atau Islam politik. PSI memilih jalur tengah: rasional, modern, dan pro-perubahan.
Risiko dari Transformasi Simbolik
Namun, transformasi simbolik tak otomatis mengubah realitas politik. Logo baru tidak akan membawa PSI ke Senayan jika mereka tetap gagal membangun jaringan akar rumput, konsistensi komunikasi politik, dan agenda kebijakan yang menyentuh kebutuhan nyata publik.
Logo bisa berganti. Tapi jika perilaku politiknya tetap elitis, nyinyir di media sosial, dan minim kerja lapangan, maka gajah itu tidak lebih dari hiasan panggung.
Apakah PSI Benar-Benar Dewasa?
Mengganti logo dari mawar ke gajah adalah langkah berani. Tapi keberanian itu baru akan bermakna jika disertai langkah konkret: merekrut kader muda yang bekerja nyata, memperluas basis di daerah, dan menyusun kebijakan publik yang relevan serta berpihak.
Kini, publik yang akan menilai. Apakah PSI sungguh telah bertransformasi, atau sekadar sedang bereksperimen dengan kostum politik yang lebih besar?***
Penulis : Bar Bernad





















