Jakarta, Mevin.ID – Angka mengejutkan datang dari laporan terbaru Bank Dunia: 60,3 persen rakyat Indonesia—sekitar 172 juta jiwa—disebut hidup dalam kemiskinan. Klaim ini langsung bikin gaduh dan memantik respons keras dari pemerintah.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto buru-buru membantah. “Pemerintah punya angka, standarnya ada,” ujarnya tegas saat ditemui di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Pemerintah, kata Airlangga, masih mengacu pada standar kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS), bukan standar Bank Dunia yang jauh lebih tinggi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Beda Patokan, Beda Jumlah Orang Miskin
BPS menyatakan, penduduk miskin Indonesia hanya 9,03 persen, atau sekitar 25,22 juta orang dari total 285 juta penduduk. Tapi BPS menggunakan garis kemiskinan Rp595.242 per kapita per bulan, alias kurang dari Rp20 ribu per hari.
Padahal, dengan harga kebutuhan pokok yang terus melonjak, standar itu dianggap sudah tak relevan. Kopi susu kekinian saja harganya bisa tiga kali lipat dari itu.
Sebaliknya, Bank Dunia menghitung kemiskinan di Indonesia berdasarkan standar negara berpendapatan menengah atas, yaitu pendapatan minimum US$6,85 per hari. Dikonversi dengan kurs Rp16.800, berarti Rp115.080 per orang per hari.
Dengan standar ini, 60,3 persen penduduk Indonesia tergolong miskin.
Indonesia Sudah Masuk Kategori “Negara Menengah Atas”
Bank Dunia menetapkan Indonesia sebagai negara upper middle income sejak 2023, ketika pendapatan nasional bruto (GNI) RI mencapai US$4.580 per kapita. Itu artinya, Indonesia secara statistik sudah “naik kelas”—dan seharusnya mengikuti standar kemiskinan yang lebih tinggi pula.
Namun pemerintah belum memastikan apakah akan menyesuaikan standar nasional dengan patokan global itu. “Akan kita review lagi,” kata Airlangga diplomatis.
Uji Relevansi: Rp20 Ribu Cukup untuk Hidup Sehari?
Pertanyaan pentingnya: masih layakkah standar BPS digunakan untuk menggambarkan realitas sosial hari ini? Dengan harga kebutuhan dasar yang merangkak naik, banyak pihak menilai, ukuran Rp20 ribu per hari jelas tidak mencerminkan kondisi kemiskinan yang sesungguhnya.
Sementara itu, publik menunggu: apakah pemerintah akan terus berpegang pada angka versi sendiri, atau mulai jujur dengan realita lapangan?***