SEJAK menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat pada awal 2025, Dedi Mulyadi (KDM) tampil sebagai figur pemimpin yang mencolok di mata publik.
Dengan gaya komunikatif yang kuat, penguasaan media sosial, dan aksi langsung di lapangan, ia menjelma menjadi sosok yang mudah dijangkau secara visual dan emosional oleh masyarakat.
Namun, dalam refleksi 100 hari kepemimpinannya, muncul dua wajah kepemimpinan KDM: di satu sisi efektif dan merakyat, namun di sisi lain mulai memperlihatkan pola kepemimpinan yang cenderung terpusat, atau sering disebut sebagai “one man show.”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Publikasi Figur dan Efisiensi Kerja
Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran KDM dalam berbagai kegiatan langsung di lapangan mencerminkan gaya kepemimpinan yang aktif dan responsif.
Ia tidak segan turun langsung menegur pejabat yang lamban, meninjau proyek infrastruktur, atau menyapa masyarakat dengan pendekatan personal yang hangat.
Capaian signifikan pun mulai terlihat, seperti realisasi APBD Jawa Barat yang masuk kategori tertinggi secara nasional, percepatan proyek jalan dan irigasi desa, hingga penguatan UMKM berbasis desa dengan bantuan alat dan modal langsung.
KDM menunjukkan efektivitas kerja dengan gaya kepemimpinan lapangan yang jarang terlihat di periode-periode sebelumnya.
Namun, muncul pertanyaan: apakah keberhasilan ini ditopang oleh sistem yang kuat, atau hanya bergantung pada satu figur pemimpin?
Risiko “One Man Show”
Gaya kepemimpinan yang terlalu terpusat pada satu tokoh berisiko melemahkan struktur organisasi dan kaderisasi. Ciri utama dari pola one man show meliputi:
Sentralisasi keputusan, di mana pejabat lain hanya menjadi pelaksana pasif.
Minimnya pendelegasian, yang menutup ruang belajar bagi pemimpin-pemimpin muda.
Ketergantungan sistemik, di mana roda pemerintahan berjalan hanya jika sang pemimpin hadir.
Pengaburan fungsi kelembagaan, karena semua pujian atau kritik hanya tertuju pada satu orang.
Hal ini dapat menghambat tumbuhnya sistem birokrasi yang sehat dan profesional.
Pemerintahan bukan panggung monolog. Ia membutuhkan ekosistem kerja kolektif yang terstruktur dan berkelanjutan.
Kepemimpinan Transformasional: Sebuah Alternatif
Kepemimpinan transformasional, sebagaimana dijelaskan oleh James MacGregor Burns dan Bernard M. Bass, merupakan gaya kepemimpinan yang mendorong pertumbuhan bersama, inovasi, dan kaderisasi.
Seorang pemimpin transformasional tidak hanya menyelesaikan masalah, tapi juga menciptakan lingkungan kerja yang memungkinkan orang lain menyelesaikan masalah secara mandiri.
Dalam konteks pemerintahan daerah, pemimpin transformasional:
Mendelegasikan wewenang secara proporsional.
Menginspirasi tim untuk ikut membangun visi bersama.
Membangun sistem kerja yang tetap berjalan meskipun pemimpinnya tidak hadir secara langsung.
Jika KDM dapat menggeser pendekatannya ke arah ini, maka ia akan meninggalkan warisan bukan hanya berupa proyek, tetapi budaya kerja dan tata kelola yang kuat.
Citra, Sistem, dan Warisan Kepemimpinan
Kita apresiasi langkah cepat dan pendekatan personal Dedi Mulyadi dalam mengelola pemerintahan Jawa Barat.
Namun perlu ditegaskan, kepemimpinan hebat bukan hanya tentang kedekatan dengan rakyat atau keberanian tampil — melainkan tentang kemampuan membangun sistem dan mencetak pemimpin baru.
“True leaders don’t create followers; they create more leaders.”
— Tom Peters
***
Seorang pemimpin akan dikenang bukan karena seberapa sering ia tampil di depan kamera, melainkan karena seberapa kuat sistem yang ia tinggalkan.
Pemimpin besar adalah ia yang mampu menjadikan orang-orang di sekitarnya hebat, bukan hanya menjadikan dirinya pusat segala hal.
Pantun Angin, Ketua Forum Aktivis Koperasi Indonesia (FAKI)