SETIAP kali membuka media sosial, entah Instagram, TikTok, atau YouTube, wajah yang muncul bukan lagi selebritas atau influencer—tapi Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Dengan pakaian khas, kamera yang selalu siaga, dan mikrofon yang lebih setia daripada para staf ahli, Dedi tampil, berbicara, menyentuh, mengatur, bahkan menertibkan. Semua dilakukan dalam satu narasi besar: memerintah lewat konten.
Dalam dunia Dedi Mulyadi, negara bukan lagi soal dokumen, rapat, dan perangkat birokrasi. Negara adalah panggung. Kebijakan adalah konten. Dan rakyat? Mereka adalah penonton setia yang menekan tombol “Like”, “Share”, dan “Subscribe”.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari Puncak ke Gedebage, dari Eigerland ke Barak Militer
Ingat ketika Dedi membongkar bangunan di Puncak milik BUMD Jabar, Jaswita? Dengan penuh percaya diri, ia bicara soal potensi banjir, tata ruang, dan keberanian menghadapi siapa pun yang melanggar.
Video viral. Tontonan ramai. Tapi pertanyaannya kemudian: setelah viral itu, bagaimana nasib bangunan-bangunan tersebut? Dibongkar tuntas atau dibicarakan diam-diam?
Lalu Eigerland. Isu besar. Tata ruang, kepentingan lingkungan, investasi. Tapi seperti konten yang sudah basi, Eigerland lenyap begitu saja dari linimasa, tergantikan oleh video pembongkaran bangunan liar di bantaran sungai. Kali ini, diselingi narasi sedih: keluarga yang digusur diberi ganti rugi. Tapi tidak semua. Yang tidak terekam kamera? Entahlah, mungkin mereka dianggap tidak cukup dramatis.
Dan ketika Walikota Bandung kerepotan dengan gunungan sampah di Gedebage, siapa yang datang menyelamatkan? Tentu saja, sang gubernur konten. Kamera on, mic check, dan Dedi masuk ke pasar, memarahi, memberi solusi, dan tentu saja—menyentuh hati netizen.
Barak Militer untuk Anak Tawuran, KB untuk Bansos
Masih belum puas? Gimmick lain pun muncul. Kali ini, untuk menyasar anak muda. Yang tawuran, nyabu, atau berkeliaran tanpa arah, dikirim ke barak militer.
Solusi instan: disiplin ala tentara untuk menyembuhkan luka sosial. Pro kontra mengiringi, tapi selama viral, semua dianggap berhasil.
Dan yang terbaru—karena hidup harus terus memberi kejutan—bansos untuk suami yang bersedia vasektomi.
Logikanya: jika miskin, jangan banyak anak. Jika ingin bantuan, potong jalur reproduksi. Sebuah kebijakan yang tidak lahir dari konsultasi publik atau forum ilmiah, melainkan langsung dari ruang sunting video.
Pemerintahan yang Tayang Tiap Hari
Dedi Mulyadi telah membangun sistem pemerintahan baru—pemerintahan berbasis algoritma. Ia tak perlu pemberitaan media, ia berhasil menekan biaya iklan pemerintah—karena semua bisa diselesaikan cukup dengan Youtube, TikTok dan Instagram.
Rakyat yang mendukung bukan lagi mereka yang datang ke balai desa, tapi yang menyimak dari timeline.
Ia lebih dikenal oleh warga luar Jabar daripada para kepala dinasnya sendiri. Dan banyak yang berharap, “Andai dia jadi gubernur di provinsi kami…”
Karena siapa yang tidak ingin gubernur yang turun langsung ke lapangan, masuk ke warung, ke pasar, ke barak militer, ke dapur rumah warga miskin—selama kamera menyala?
Apakah semua kebijakannya benar? Tidak selalu. Apakah semuanya tuntas? Tak banyak yang tahu. Tapi apakah semuanya viral? Oh, tentu saja.
Inilah Gubernur Gimmick.
Bekerja dengan kamera,
Memerintah lewat caption,
Membangun Jawa Barat satu video per hari
Wallahu A’lam Bishawab