New York, Mevin.ID — Suara lonceng kebebasan yang biasa menggema di Amerika Serikat kini bersaing dengan teriakan protes dari ribuan aktivis anti-perang. Dari New York hingga Los Angeles, massa turun ke jalan menentang kebijakan Presiden Donald Trump yang memerintahkan serangan militer terhadap fasilitas nuklir Iran.
“Trump adalah Penjahat Perang!”
Seruan ini menggema di Times Square, New York, dalam demonstrasi yang penuh emosi namun berlangsung damai. Di antara spanduk dan teriakan massa, satu pesan paling menonjol: “Tidak untuk perang AS-Israel terhadap Iran.”
Di tengah teriknya panas Manhattan, para demonstran bergerak melewati jalur wisata ikonik Midtown, meneriakkan “No More War Crimes!” sambil membawa potret korban sipil dan anak-anak yang terdampak konflik Timur Tengah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Protes Serentak di Berbagai Kota
Demo ini bukan aksi tunggal. Ini adalah gerakan nasional terkoordinasi yang berlangsung di berbagai kota besar AS:
- Los Angeles,
- Austin,
- Boston,
- Cincinnati,
- Chicago,
- Portland, hingga
- Washington, D.C.
Di Chicago, sekitar 100–125 orang berkumpul dengan satu pesan yang sama: cukup sudah kekerasan atas nama perdamaian. Salah satu peserta, seorang pengungsi asal Iran, mengatakan dengan suara bergetar, “Sudah empat hari saya tidak bisa bicara dengan keluarga saya di Iran. Jaringan mereka diputus… dan saya di sini tak bisa berbuat apa-apa.”
Dua Kutub di Times Square: Pendukung Trump vs Aktivis Perdamaian
Uniknya, di lokasi yang sama, juga hadir pendukung garis keras Donald Trump. Mereka mengibarkan bendera “Make America Great Again”, menciptakan ketegangan simbolis antara dua kutub narasi besar:
Perang sebagai alat kekuatan, versus perdamaian sebagai bentuk perlawanan.
Meski tidak terjadi bentrokan fisik, suasana panas terasa di udara. Di era digital, pertempuran tidak hanya berlangsung di medan tempur, tapi juga di ruang publik dan algoritma sosial media.
Perang Jarak Jauh, Luka yang Dekat
Keputusan Trump untuk menyerang fasilitas nuklir Iran dinilai banyak pihak sebagai provokasi berbahaya yang bisa menyeret dunia ke dalam krisis lebih dalam. Para demonstran menyuarakan kekhawatiran atas eskalasi yang bisa berdampak langsung pada warga sipil, pengungsi, dan komunitas diaspora di AS sendiri.
Di balik spanduk dan slogan, ada wajah-wajah cemas yang rindu damai. Ada kisah para imigran yang belum bisa menghubungi keluarganya. Ada ketakutan nyata bahwa perang yang dimulai dari layar komando bisa berakhir di ruang makan rakyat biasa.***