AKHIR-AKHIR ini rame banget di linimasa: isu ijazah palsu Jokowi naik lagi, Gibran diisukan bakal diganti sebagai wapres, dan muncul narasi “matahari kembar” antara Jokowi & Prabowo.
Banyak yang mikir, “Lah, bukannya pemilu udah kelar? Kenapa masih rame soal beginian?”
Jawabannya: ini bukan sekadar drama. Ini adalah bagian dari pertarungan elite kekuasaan—yang diam-diam, nyambung ke permainan aktor luar negeri juga.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Gibran Jadi Target, Jokowi Masih Dianggap Ancaman
Walau Jokowi udah turun tahta, pengaruhnya masih ngeri. Dia gak cuma sukses dukung Prabowo jadi presiden, tapi juga berhasil naro Gibran—anaknya sendiri—di posisi wapres.
Ini bikin banyak elite politik senior dan kelompok oposisi gak nyaman.
Gibran bukan cuma “anak presiden”. Dia simbol dari aliansi politik Prabowo-Jokowi. Kombinasi ini bisa ngunci kekuasaan sampe dua periode ke depan.
Nah, itu yang bikin sebagian pihak panik—karena peluang mereka buat balik ke panggung politik makin sempit.
Makanya, sekarang yang diserang bukan cuma Jokowi, tapi juga Gibran. Dari isu curang di MK, nepotisme, sampe narasi penggantian wapres yang absurd banget.
Pengakuan Dije: Ada Aliran Dana Asing di Balik Ormas
Nah, yang bikin makin menarik: muncul pengakuan dari Dije (anak seorang jenderal) di Tiktok, yang buka-bukaan soal ormas-ormas lama kayak FPI dan HTI.
Katanya, mereka sempat dapet kucuran dana dari luar negeri—dari Inggris, dari Amerika.
Setelah dapet dukungan itu, misi mereka jadi berubah. Gak lagi soal moral atau agama, tapi soal pengaruh dan kekuasaan.
Mereka dianggap mewakili kepentingan luar untuk melemahkan pemerintahan yang dianggap “menghambat asing” menguasai Indonesia.
Dan Jokowi jadi musuh mereka, karena selama ini dia ngeblok eksploitasi SDA asing, kayak ngerampas Blok Rokan dan push hilirisasi nikel.
Jokowi bahkan dituduh antek asing, padahal justru dia yang selama ini ngelawan. Ibaratnya: yang nerima dana dari luar nuduh yang ngelawan asing sebagai antek asing. Ironis? Banget.
Bubarnya Ormas, Muncul Dendam Politik
Waktu ormas itu dibubarkan, aliran dana otomatis berhenti. Mereka coba bangkit lagi dengan ganti nama—Front Persaudaraan Islam (FPI versi baru), tapi sampai sekarang gak dikasih legalitas.
Karena kekuatan mereka berkurang, akhirnya mereka ganti strategi: balik serang Jokowi lewat isu hukum, kayak kasus ijazah palsu.
Targetnya jelas: kalau Jokowi bisa dipidanakan, maka kebijakan dia soal hilirisasi, pembubaran ormas, dll—ikut gugur.
Itu belum cukup. Sekarang mereka mulai serang Gibran juga, bahkan dorong narasi pemakzulan.
Dan ini bukan sekadar suara “masyarakat sipil”—ada juga mantan jenderal dan aktor-aktor politik lama yang sejak 2014 udah terafiliasi sama ormas tadi.
Hati-Hati dengan “Topeng Moral”
Serangan ke Jokowi dan Gibran dibungkus seolah demi “keadilan”, “konstitusi”, “pro rakyat”, dll. Tapi kalau ditelusuri, di belakangnya ada permainan yang jauh lebih besar—dari politik dalam negeri, sampai intervensi luar negeri.
Jadi, sebagai anak muda yang jadi penonton (atau mungkin calon pemain politik masa depan), kita harus melek:
- Gak semua yang teriak “moral” itu murni.
- Gak semua yang keliatannya pro-rakyat itu anti-asing.
- Dan gak semua “kebebasan berekspresi” itu tanpa agenda.
Ini Lebih dari Sekadar Ijazah
Kita bukan lagi ngomongin soal valid atau enggak ijazah. Ini udah masuk ke ranah perebutan arah kekuasaan Indonesia.
Siapa yang mengontrol, siapa yang diwariskan, dan siapa yang bakal ngejagain sumber daya alam kita dari cengkeraman asing.
Dan satu hal yang perlu diingat:
Jangan sampai kita dijadikan alat propaganda yang dibungkus agama, moral, atau nasionalisme, padahal di belakangnya… ada dolar dan agenda asing yang menari-nari. ***
Penulis : Bar Bernad