Di Bawah Langit yang Sama, Pikirkan Dinding Diri: Warisan Stoik Marcus Aurelius

- Redaksi

Selasa, 4 November 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Marcus Aurelius, stoikisme dan cara praktiknya (Pixabay/Mikewildadventure)

Marcus Aurelius, stoikisme dan cara praktiknya (Pixabay/Mikewildadventure)

“Jangan buang waktu memikirkan bagaimana seharusnya orang lain hidup. Pikirkan bagaimana seharusnya kamu hidup.”

 — Marcus Aurelius 

DI ERA scrolling tanpa henti, ketika kehidupan pribadi orang lain tersaji dalam tayangan kilat, dan setiap pilihan hidup terasa sah untuk dikomentari, nasihat dari seorang kaisar dan filsuf Romawi, Marcus Aurelius, terasa seperti tamparan dingin yang menyadarkan.

Kalimatnya bukan ajakan untuk bersikap egois, melainkan sebuah peta jalan menuju kedamaian batin, mengajarkan seni fokus yang paling esensial: fokus pada diri sendiri.

Marcus Aurelius, melalui karyanya Meditations, mengingatkan kita pada prinsip fundamental filsafat Stoikisme: hanya ada satu hal yang sepenuhnya berada dalam kendali kita, yaitu pikiran dan respons kita terhadap dunia.

Sebaliknya, bagaimana orang lain memilih hidup, apa yang mereka katakan, atau apa yang mereka pikirkan tentang kita, adalah hal-hal yang sama sekali berada di luar lingkaran kendali kita.

Energi yang Terbuang di Luar Dinding

Mengapa kita begitu mudah terjebak dalam pusaran hidup orang lain? Mungkin karena mengurusi urusan orang lain terasa lebih mudah—atau lebih mendebarkan—daripada menghadapi kekacauan di dalam diri sendiri. Kita menghabiskan energi yang tak ternilai untuk:

  • Menilai dan Menghakimi: Menghabiskan waktu menghakimi pakaian, karir, atau keputusan orang lain. Setiap penilaian ini sejatinya tidak mengubah realitas mereka, tetapi justru mengotori ketenangan pikiran kita sendiri dengan ampas emosi negatif.
  • Perbandingan yang Merusak: Membandingkan pencapaian, kekayaan, atau kebahagiaan kita dengan “panggung” yang ditampilkan orang lain, terutama di media sosial. Perbandingan ini menciptakan kecemasan, rasa iri, dan rasa tidak puas yang konstan.
  • Mencari Persetujuan (Validation): Terlalu peduli pada opini orang lain membuat kita hidup untuk memuaskan ekspektasi di luar diri. Kita menjadi budak bagi pandangan orang lain, kehilangan kemerdekaan untuk bertindak sesuai dengan nalar dan nilai-nilai luhur pribadi.

Aurelius dengan tegas menyatakan bahwa energi yang diinvestasikan pada hal-hal di luar diri adalah pemborosan waktu—sumber daya paling terbatas yang kita miliki.

Waktu yang seharusnya kita gunakan untuk memperbaiki karakter, mengasah kebajikan, atau melakukan pekerjaan yang berarti, justru diserahkan pada desahan, gosip, dan komentar yang sia-sia.

Kembali ke Kuadran Diri: Seni Hidup yang Bermakna

Pesan Marcus Aurelius adalah seruan untuk melakukan introspeksi total. Alih-alih mengawasi rumah tetangga, kita diminta kembali ke “benteng” kita yang paling kokoh: pikiran kita.

“Pikirkan bagaimana seharusnya kamu hidup” adalah ajakan untuk fokus pada:

  • Tindakan Berbudi Luhur (Virtue): Apakah saya sudah bertindak dengan keadilan, keberanian, kebijaksanaan, dan moderasi hari ini? Ini adalah satu-satunya tujuan hidup yang, menurut Stoik, dapat kita kendalikan dan menjamin kebahagiaan sejati (Eudaimonia).
  • Tanggung Jawab Pribadi: Apa tugas saya saat ini, dan bagaimana saya bisa melakukannya dengan kemampuan terbaik? Bagi Aurelius, tugasnya adalah memerintah dengan adil; bagi kita, mungkin itu adalah mengerjakan proyek dengan integritas, atau menjadi orang tua yang sabar.
  • Kualitas Pikiran: Memilih bagaimana kita memandang setiap peristiwa. Jika seseorang bersikap tidak adil, kita tidak bisa mengontrol tindakannya, tetapi kita bisa mengontrol tanggapan kita—memilih untuk tidak marah, memilih untuk berbelas kasih.

Dengan menarik perhatian dan energi kita dari hiruk pikuk kehidupan orang lain, kita tidak hanya menghemat waktu, tetapi juga mengamankan kedamaian batin.

Kedamaian, dalam pandangan Stoik, bukanlah ketiadaan masalah eksternal, melainkan kemampuan untuk tetap tenang dan rasional di tengah badai, karena kita tahu kita telah melakukan yang terbaik dengan apa yang ada dalam kendali kita.

Pada akhirnya, warisan Marcus Aurelius adalah pengingat bahwa hidup adalah proyek tunggal yang tidak dapat didelegasikan.

Kemajuan sejati dan kedamaian abadi tidak akan pernah ditemukan dengan mengawasi kehidupan orang lain, melainkan hanya dengan tekun membangun, memperbaiki, dan menjaga dinding di dalam diri kita sendiri.***

– Serial Filsafat –

Facebook Comments Box
Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Serigala di Pintu, Penggembala di Balik Senyum: Refleksi Kealpaan Manusia atas Ancaman Terdekat
Marsinah: Dari Lantai Pabrik ke Istana Negara — Kepahlawanan yang Lahir dari Upah Minimum
Seni Melepaskan Amarah: Menggali Pengertian dari Sudut Pandang Stoik Epictetus
Refleksi Hari Pahlawan 2025, Krisis Keteladanan di Negeri yang Lupa akan Pengorbanan
Mengenang Raharti: Ketika Keberanian Perempuan Melampaui Batas Peluru dan Waktu
Banjir Tahunan Eretan Wetan : Warga Bertahan Di Tengah Janji Yang Tak Kunjung Datang
Air Zam-zam yang Tercemar Darah Tetangga: Ironi Ibadah dan Kemanusiaan
Kerinduan Abadi Sang Seruling: Jalan Pulang Jiwa Menurut Rumi

Berita Terkait

Selasa, 11 November 2025 - 12:57 WIB

Serigala di Pintu, Penggembala di Balik Senyum: Refleksi Kealpaan Manusia atas Ancaman Terdekat

Senin, 10 November 2025 - 14:09 WIB

Marsinah: Dari Lantai Pabrik ke Istana Negara — Kepahlawanan yang Lahir dari Upah Minimum

Senin, 10 November 2025 - 12:47 WIB

Seni Melepaskan Amarah: Menggali Pengertian dari Sudut Pandang Stoik Epictetus

Senin, 10 November 2025 - 11:29 WIB

Refleksi Hari Pahlawan 2025, Krisis Keteladanan di Negeri yang Lupa akan Pengorbanan

Senin, 10 November 2025 - 10:54 WIB

Mengenang Raharti: Ketika Keberanian Perempuan Melampaui Batas Peluru dan Waktu

Berita Terbaru