SENJA itu mendung menggantung. Di bawah pohon trembesi tua, seorang pemuda duduk termenung.
Namanya Ilham. 27 tahun. Pekerja kreatif, kadang idealis, kadang skeptis.
Ia datang ke tempat itu bukan untuk bertapa, tapi untuk bicara. Dengan seseorang yang tak pernah ceramah, tapi selalu membuatnya merasa pulang.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namanya: Abah Rawi. Seorang tua yang lebih sering diam, tapi ucapannya menyentuh seperti doa.
Ilham:
“Abah, aku udah capek. Aku ikut pengajian, ikut kajian, baca kitab—tapi kenapa makin banyak tahu, aku makin takut? Takut dosa. Takut mati. Takut gagal. Bahkan… takut hidup.”
Abah Rawi (tersenyum):
“Karena kamu belajar agama seperti orang membaca aturan lalu lintas, bukan seperti orang mencari rumah.”
Ilham (mengernyit):
“Maksud Abah?”
Abah Rawi:
“Agama itu jalan. Tapi banyak orang berhenti di lampu merah. Lupa bahwa tujuan dari perjalanan ini bukan hanya selamat, tapi sampai.”
Ilham:
“Tapi selama ini aku diajarin, surga itu tujuannya.”
Abah Rawi (menatap langit):
“Kalau kamu hanya hidup untuk mengejar surga, kamu sedang berdagang. Tapi kalau kamu hidup untuk mengenal Tuhan, kamu sedang mencinta.”
Ilham diam. Matanya mulai basah. Tak ada yang salah dengan surga. Tapi entah kenapa, kata ‘cinta’ dari Abah menusuk lebih dalam dari semua khutbah tentang pahala.
Ilham:
“Jadi… aku harus meninggalkan semua aturan itu?”
Abah Rawi (pelan):
“Bukan ditinggalkan. Tapi ditembus. Seperti Rabi’ah al-Adawiyah. Ia salat bukan karena takut neraka, tapi karena rindu. Ia puasa bukan untuk pahala, tapi karena ia ingin sunyi bersama Tuhan.”
Ilham:
“Tapi hidupku ramai, Abah. Kantor, target, scroll TikTok, notif masuk terus. Mana sempat aku sunyi?”
Abah Rawi:
“Sunyi itu bukan tempat, Nak. Sunyi itu saat hatimu hadir. Bahkan di keramaian, kamu bisa bersama-Nya… asal kamu tak terusik.”
Ilham tertunduk. Suara motor, tukang bakso, dan anak-anak bermain menyatu dengan desir angin. Tapi untuk pertama kali, ia merasa semua suara itu tak berisik.
Ilham: (mengernyitkan dahi)
“Abah… aku gak ngerti semua istilah tasawuf. Aku gak pernah naik gunung buat nyepi. Tapi aku cuma ingin… tenang.”
Abah Rawi: ( dengan suara berat)
“Tenang bukan karena kamu hafal dalil. Tapi karena kamu berhenti bersembunyi dari Tuhan. Biarkan Dia melihatmu. Apa adanya. Dengan luka, lelah, dan kelabilanmu.”
Ilham (nyaris berbisik):
“Kalau begitu… aku boleh berhenti mengejar surga dulu, dan mulai mencari Tuhan?”
Abah Rawi (tersenyum lembut):
“Itu bukan kesalahan, Nak. Itu langkah pulang.”
Senja pun mulai redup. Ilham tak mendapatkan jawaban lengkap. Tapi hatinya lebih ringan. Lebih lapang.
Ia tak menjadi alim hari itu. Tapi ia merasa dilihat. Dikenal. Dan mungkin, untuk pertama kalinya, dicintai oleh Tuhan tanpa syarat.
Kita tak selalu perlu naik gunung atau menutup diri untuk bertemu Tuhan. Kadang, cukup dengan duduk di bawah pohon, bersama seseorang yang mau mendengarkan. Karena sesungguhnya, jalan pulang itu bukan cuma lewat masjid. Tapi lewat hati yang jujur.***
Penulis : Bar Bernad