ILHAM datang agak terlambat hari itu. Bajunya masih rapi kantor. Jemarinya masih gatal ingin mengecek notifikasi. Tapi ia tahu, kalau ia ingin tenang, ia harus duduk. Diam. Dan menunggu Abah bicara.
Abah Rawi menyambutnya dengan senyum, seperti biasa. Sambil menyiapkan teh hangat dan sepotong ubi kukus.
Ilham:
“Abah… kenapa ya, akhir-akhir ini aku ngerasa Tuhan jauh banget. Aku tetap salat. Ngaji kadang. Tapi hati ini kayak… kosong. Hampa. Gak nyambung.”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Abah Rawi (pelan):
“Tuhan nggak pernah jauh, Ham. Yang jauh itu pikiranmu yang ke mana-mana. Tuhan masih di tempat yang sama: di hatimu yang paling dalam.”
Ilham:
“Tapi kenapa rasanya Dia diam? Aku udah berdoa, minta petunjuk, minta dikuatkan. Tapi gak ada tanda apa-apa. Seolah-olah… Tuhan meninggalkanku.”
Abah Rawi (menatap teh):
“Kalau kamu datang ke telaga, tapi airnya keruh, jangan salahkan telaganya. Mungkin kamu datang sambil membawa lumpur.”
Ilham terdiam. Kata-kata itu terasa seperti tamparan. Tapi bukan tamparan keras—lebih seperti tangan tua yang menyeka debu di wajahmu tanpa membuatmu malu.
Abah Rawi:
“Tuhan tidak diam, Ham. Tapi kamu terlalu bising. Bising oleh takut gagal. Bising oleh ekspektasi orang. Bising oleh pencitraan. Kamu tidak menunggu, kamu menuntut.”
Ilham:
“Tapi Abah… dunia sekarang cepat banget. Aku takut tertinggal. Semua orang berlomba. Kalau aku berhenti sejenak, aku kalah.”
Abah Rawi:
“Dan karena kamu takut kalah, kamu kehilangan dirimu. Kamu jadi sibuk mencari validasi manusia, dan lupa mendengar suara Tuhan di dalam diam.”
Ilham menggenggam cangkir teh. Hangatnya merembes ke telapak tangan, tapi tidak menghapus dingin di dadanya.
Ia menunduk, seperti anak kecil yang kehilangan mainan—padahal yang hilang bukan mainannya, tapi rasa pulangnya.
Ilham:
“Jadi… gimana caranya aku bisa ‘dengar’ Tuhan, Bah?”
Abah Rawi:
“Pertama-tama, berhenti menyuruh Tuhan bicara. Mulailah mendengarkan. Dengarkan lewat tenangmu. Lewat rasa syukur yang kamu lupakan. Lewat deru napasmu sendiri.”
Ilham:
“Tapi aku gak tahu gimana cara menenangkan diri…”
Abah Rawi (tersenyum):
“Mulai dengan kejujuran. Katakan dalam doamu, ‘Ya Allah, aku bingung. Aku ragu. Tapi aku tetap ingin dekat-Mu.’ Itu saja cukup. Kadang Tuhan bukan ingin kita suci. Tapi ingin kita jujur.”
Langit senja mulai redup. Tapi ada cahaya lain yang menyelinap di dada Ilham. Bukan jawaban lengkap, tapi cukup untuk membuatnya bertahan.
Karena mungkin… Tuhan tidak pernah benar-benar diam. Kita saja yang tidak diam untuk mendengarkan.
***
Kita sering merasa Tuhan jauh di era ini, padahal yang hilang bukan Tuhan—tapi diri kita sendiri yang tenggelam dalam riuh dunia.
Jika kamu merasa hampa, jangan buru-buru merasa gagal.
Kadang, kehampaan adalah ruang kosong yang Tuhan siapkan agar kamu mengisinya dengan kejujuran.***
Baca Juga : Dialog Batin Episode 1 : “Jalan Pulang Tak Selalu Lewat Masjid”