MAULANA Jalaluddin Rumi, sang sufi dan penyair dari Persia, selalu memiliki cara yang puitis nan menohok untuk menyentuh inti terdalam pengalaman manusia.
Ia tidak membutuhkan teori filsafat yang rumit; cukup dengan sepotong perumpamaan sederhana tentang burung.
“Ikatlah dua burung bersama. Mereka tidak akan bisa terbang, meskipun kini mereka memiliki empat sayap.”
—Maulana Rumi
Di tengah obsesi dunia modern terhadap ‘sinergi’, ‘kolaborasi’, dan ‘persatuan’, kutipan ini datang sebagai bisikan yang menusuk. Kita sering berpikir, semakin banyak sumber daya, semakin besar kekuatan.
Dua lebih baik dari satu. Empat sayap tentu lebih bertenaga daripada dua sayap. Namun, Rumi membalik logika itu dengan keindahan yang menyakitkan: kebersamaan yang salah justru menciptakan kelumpuhan, bukan kekuatan.
Belenggu Bernama Ikatan
Pesan Rumi ini bukan tentang aritmatika, melainkan tentang hakikat kebebasan. Burung diciptakan untuk terbang; esensi keberadaannya adalah sayap yang tidak terikat.
Ketika dua makhluk yang sejatinya mandiri dipaksa terikat, mereka tidak hanya kehilangan kebebasan individu, tetapi juga kehilangan kemampuan fundamental mereka—terbang. Ikatan itu mengubah potensi mereka (empat sayap) menjadi beban (ikatan).
Kita melihat fenomena ini terjadi berulang kali dalam hidup, bukan dalam sangkar, melainkan dalam ikatan personal dan profesional:
- Hubungan Asmara yang Membelenggu: Dua insan yang terikat karena rasa takut akan kesendirian, atau yang menuntut pasangannya menyerahkan identitas diri. Alih-alih saling mendorong untuk mencapai puncak tertinggi, mereka justru saling menahan di daratan, takut jika pasangannya terbang terlalu tinggi dan meninggalkannya.
- Persahabatan yang Toxic: Lingkaran pertemanan yang didominasi oleh kecemburuan atau rasa memiliki yang berlebihan, di mana pertumbuhan salah satu pihak dianggap sebagai ancaman.
- Karier yang Terpaksa: Mempertahankan pekerjaan atau kemitraan bisnis yang sudah lama kehilangan semangat dan visi, hanya karena kenyamanan atau ‘sudah terlanjur’.
Alih-alih membuat kita terbang lebih tinggi, keterikatan yang salah justru merampas kebebasan kita untuk menjadi diri sendiri. Rumi mengajarkan bahwa kebebasan adalah sayap sejati.
Tanpa kebebasan, sebanyak apapun “sayap tambahan” yang kita miliki—gelar, harta, koneksi—kita tetap tidak bisa lepas dari tanah.
Menuju Irama, Bukan Ikatan
Filsafat Rumi, yang sarat dengan ajaran Sufi tentang pencarian Tuhan, seringkali mengarah pada pentingnya melepaskan diri dari ikatan duniawi demi mencapai persatuan spiritual yang lebih tinggi.
Secara metaforis, ‘terbang’ adalah manifestasi dari pertumbuhan spiritual dan realisasi diri yang tak terbatas.
Lalu, bagaimana seharusnya kebersamaan itu terwujud?
Cinta, persaudaraan, atau kerja sama yang sejati bukanlah tentang memaksakan dua entitas menjadi satu paket yang kaku. Kekuatan yang sejati tidak ditemukan dalam tali temali, melainkan dalam harmoni.
Dua burung yang terbang beriringan tidak diikat; mereka memilih untuk terbang seirama. Mereka bebas bergerak, bebas menentukan lintasan, namun memiliki tujuan yang sama.
Mereka saling menjaga kecepatan dan arah, sehingga gerakan empat sayap itu menciptakan daya dorong yang luar biasa. Jika salah satu lelah, yang lain dapat memberi dukungan, bukan menariknya jatuh.
Pesan Rumi yang tak lekang oleh waktu ini menuntun kita pada sebuah perenungan mendalam:
Apakah ikatan yang kita miliki saat ini membuat kita tumbuh atau justru membelenggu?
Jika sebuah hubungan—dengan pasangan, sahabat, atau pekerjaan—mengharuskan Anda mengecilkan diri, mematikan mimpi, atau menanggalkan keunikan demi alasan ‘persatuan’, maka sesungguhnya itu adalah tali temali yang melumpuhkan.
Saatnya melepaskan ikatan yang salah, dan menemukan mereka yang memilih untuk berjalan—atau terbang—seirama dengan Anda. Karena hanya dengan kebebasan penuh, sayap kita dapat berfungsi, dan empat sayap sesungguhnya dapat membawa kita jauh melampaui cakrawala. Itulah paradoks kekuatan sejati ala Rumi: untuk bersatu, kita harus bebas.***
– Serial Filsafat –





















