Jakarta, Mevin.ID — Saat Presiden Prabowo Subianto mendorong efisiensi anggaran di awal masa jabatannya, banyak yang berharap belanja negara akan lebih tepat sasaran dan berkualitas. Namun, data terbaru justru menunjukkan sebaliknya: pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat ke 4,87% (yoy) pada kuartal I-2025, terendah sejak 2022.
Efisiensi yang dimaksudkan untuk menyehatkan APBN ternyata membuat belanja pemerintah justru kontraksi -1,38%. Dampaknya merembet ke seluruh sektor, terutama di daerah.
“Pemotongan belanja publik mengurangi denyut aktivitas ekonomi, terutama di level daerah,” kata Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Selasa (6/5/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Program-program yang sebelumnya menopang ekonomi daerah—seperti infrastruktur desa dan perlindungan sosial—ikut tersendat karena transfer ke daerah dipangkas. Tak sedikit pemerintah daerah terpaksa menghentikan proyek padat karya dan merumahkan pendamping desa.
Anggaran Dialihkan ke MBG, BLK Mati Suri
Ironisnya, sebagian besar hasil efisiensi itu malah dialihkan ke Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, menurut Wahyudi, program baru itu belum memberi nilai tambah langsung terhadap ekonomi nasional, apalagi penciptaan lapangan kerja.
“Banyak Balai Latihan Kerja (BLK) yang mati suri, padahal itu motor penting penciptaan kerja sektor riil,” ujarnya.
Konsumsi Rumah Tangga Melemah, Daya Beli Tertekan
Kondisi ini diperparah oleh daya beli masyarakat yang terus melemah. Konsumsi rumah tangga—penyumbang terbesar Produk Domestik Bruto (PDB)—melambat ke 4,89% pada kuartal I-2025. Ini adalah tren turun yang sudah terlihat sejak akhir 2023.
“Sayangnya, tak semua pejabat pemerintah menyadari lemahnya konsumsi,” kata Arief Anshory Yusuf, Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN). “Padahal datanya jelas: upah riil menurun, konsumsi defensif naik.”
Arief menyarankan agar pemerintah segera menggenjot kembali belanja publik untuk menahan laju pelambatan. Apalagi, faktor musiman seperti Lebaran sudah lewat dan tak bisa diandalkan untuk memicu konsumsi.
Investasi Lesu, Deregulasi Tertunda
Investasi yang diharapkan menjadi penopang pertumbuhan ternyata juga lunglai. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) hanya tumbuh 2,12%, turun drastis dari 5,03% di kuartal sebelumnya.
“Pemerintah harus segera menuntaskan agenda deregulasi agar investasi tidak tertahan,” kata Arief. “Kalau perlu, stimulus konsumsi juga bisa dipertimbangkan.”
Ancaman Global di Depan Mata
Ketika ekonomi domestik rapuh, ancaman dari luar negeri mulai mengetuk pintu. Menurut Yose Rizal Damuri dari CSIS, kebijakan tarif resiprokal dari Presiden AS Donald Trump akan menghantam ekspor Indonesia, apalagi di tengah tren harga komoditas yang menurun.
“Ini bahkan belum masuk fase paling berat dari ketidakpastian global. Tapi ekonomi kita sudah melemah. Itu pertanda buruk,” ujarnya.
Yose menilai Indonesia tak lagi setangguh era 2008 atau 2012 ketika bisa disebut sebagai komodo dragon economy. Kini, lapisan pelindungnya terlihat lebih tipis.
Apa Jalan Keluarnya?
Pengamat sepakat: belanja pemerintah harus digeliatkan kembali, investasi didorong lewat deregulasi, dan daya beli rakyat harus dijaga. Jika tidak, pertumbuhan ekonomi 5%—yang dulu terasa biasa saja—kini bisa jadi target yang makin jauh.
“Tantangan ke depan lebih kompleks. Dan kita belum cukup siap,” tegas Yose.***