DI TENGAH sentimen lesunya belanja rumah tangga dan sinyal pelemahan industri manufaktur, Badan Pusat Statistik (BPS) justru merilis kabar mengejutkan: ekonomi Indonesia tumbuh 5,12% secara tahunan (yoy) pada kuartal II-2025.
Angka ini bukan hanya melampaui capaian kuartal sebelumnya (4,87%) dan periode sama tahun lalu (5,05%), tapi juga melampaui semua proyeksi ekonom yang hanya memperkirakan di kisaran 4,69% – 4,81%.
“Suprising! Tak ada yang prediksi di atas 5%, apalagi 5,12%,” ujar David Sumual, Chief Economist BCA.
Pertanyaan pun muncul: Apakah ini pertanda perbaikan struktural ekonomi, atau sekadar angka yang tak sepenuhnya mencerminkan realitas di lapangan?
Pertumbuhan yang Mengagetkan Banyak Pihak
BPS menyebutkan pendorong utama pertumbuhan adalah investasi tetap bruto (PMTB) yang tumbuh 6,99% — tertinggi sejak 2021. Industri pengolahan pun disebut tumbuh 5,68%, menyumbang dominan pada produk domestik bruto (PDB).
Namun, berbagai ekonom mempertanyakan konsistensi data ini dengan realitas makro yang mereka amati. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia dari S&P Global selama empat bulan berturut-turut berada di bawah ambang ekspansi (50), yang berarti aktivitas manufaktur tengah menyusut.
Bhima Yudhistira dari CELIOS bahkan menyebutkan, “Data manufaktur BPS tidak sinkron dengan data PMI. Ada yang janggal.”
Rojali, Rohana, dan Realita Konsumen
Pemerintah mengakui bahwa tidak semua kelompok masyarakat merasakan pertumbuhan ini. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut fenomena ‘Rojali’ (Rombongan Jarang Beli) dan ‘Rohana’ (Rombongan Hanya Nanya) sebagai penanda nyata bahwa daya beli masih menjadi isu serius.
Namun, menurut Prasetyo, pertumbuhan ekonomi bukan hanya ditentukan oleh kelompok tertentu. “Kita bicara struktur menyeluruh, bukan dari satu kelompok masyarakat saja,” ujarnya.
Pernyataan ini membawa pada pertanyaan penting: Apakah pertumbuhan PDB cukup menggambarkan kesejahteraan? Atau justru menjadi angka makro yang menutupi disparitas ekonomi yang makin nyata?
Riset Ekonom: Stabil Tapi Rentan
Faisal Rachman dari Permata Bank menilai pertumbuhan ini sebagai akselerasi yang melampaui ekspektasi, tapi tetap bertumpu pada permintaan domestik, bukan ekspor atau efisiensi fiskal. Hal serupa disampaikan oleh Rizal Taufikurahman dari INDEF.
Ia menilai pertumbuhan ini masih didorong oleh siklus musiman, bukan perubahan struktural. “Tak ada lonjakan produktivitas. Pertumbuhan tinggi, tapi kualitasnya belum kuat.”
Ia juga menggarisbawahi risiko ketergantungan pada konsumsi dan impor: “Kalau tidak hati-hati, ini bisa meningkatkan tekanan neraca pembayaran dan memperlebar defisit transaksi berjalan.”
Pertumbuhan Boleh Tinggi, Tapi Jangan Silau
Pertumbuhan ekonomi 5,12% memang headline yang menggembirakan. Tapi angka ini harus dibaca dengan kacamata kritis — bukan hanya soal seberapa besar pertumbuhan, tapi siapa yang merasakannya, dan apakah ia berkelanjutan secara struktural.
Pertanyaan seperti:
- Apakah sektor riil semakin produktif?
- Apakah ekspor mulai menjadi tulang punggung?
- Apakah daya beli benar-benar pulih, atau hanya ‘sesaat’ karena stimulus?
Masih menggantung.
Di tengah ‘keterkejutan massal’ para ekonom, publik justru perlu lebih waspada ketimbang euforia. Karena jika pertumbuhan ini tak diikuti pemerataan dan penguatan struktur ekonomi, maka angka tinggi itu bisa berubah menjadi ilusi stabilitas yang rapuh.***
Penulis : Bar Bernad





















