Jakarta, Mevin.ID — Sengketa batas wilayah antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara kembali memanas. Kali ini, persoalan menyangkut status kepemilikan empat pulau strategis: Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.
Tensi yang sudah berlangsung hampir dua dekade itu akhirnya menarik perhatian Presiden Prabowo Subianto, yang dikabarkan akan mengambil alih langsung penanganannya. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, setelah menjalin komunikasi langsung dengan Presiden.
“Presiden akan mengambil alih persoalan batas pulau yang menjadi dinamika antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara,” kata Dasco dalam pernyataan tertulis, Sabtu (14/6).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih lanjut, Dasco menyebut bahwa keputusan final dari Presiden akan diumumkan pekan depan.
20 Tahun Polemik, Kini Di Meja Presiden
Sengketa ini bukan perkara baru. Empat pulau itu menjadi “medan tarik menarik” antara dua provinsi sejak tahun 2008. Baik Aceh maupun Sumut pernah mengklaim secara administratif bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah mereka. Namun, fakta yang menjadi titik krusial adalah berbedanya data koordinat dan nama pulau dalam dokumen resmi masing-masing provinsi.
Versi Pemerintah Aceh, dalam verifikasi tahun 2008, keempat pulau tidak termasuk dalam daftar 260 pulau milik provinsi mereka. Namun belakangan, muncul klaim revisi yang menyebutkan ada perubahan nama dan koordinat. Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sejak awal memasukkan keempat pulau itu dalam daftar 213 pulau miliknya, lengkap dengan koordinat.
Akhirnya, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi—lembaga lintas kementerian yang menangani verifikasi geospasial—menetapkan bahwa keempat pulau tersebut berada di bawah wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Ketetapan ini kemudian disahkan lewat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Namun, reaksi keras datang dari Aceh. DPR Aceh dan sebagian masyarakat menyatakan keberatan dan menuntut keempat pulau itu dikembalikan ke wilayah Aceh, terutama Kabupaten Aceh Singkil yang berbatasan langsung dengan Tapanuli Tengah.
Di Balik Sengketa, Ada Soal Identitas dan Kedaulatan Lokal
Menurut Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, konflik ini sudah terlalu lama tanpa titik temu. Bahkan saat kedua provinsi sepakat menyerahkan keputusan kepada tim pusat, tetap muncul friksi pasca pengesahan.
“Kalau gubernur Aceh dan Sumut bisa duduk bersama dan sepakat, kita tinggal urus administrasinya,” ujar Safrizal dalam konferensi pers 11 Juni lalu.
Namun, publik tahu, urusan batas wilayah tak sesederhana hitung-hitungan koordinat. Di dalamnya menyatu persoalan identitas budaya, sejarah, hingga—tidak jarang—soal pengelolaan sumber daya alam.
Empat pulau kecil yang diperebutkan ini mungkin tampak sepele di peta nasional. Tapi bagi warga pesisir yang hidup di sekitarnya, pulau adalah ladang, rumah, dan warisan leluhur. Ketika batas-batas administratif berubah, konsekuensi sosialnya juga ikut bergeser: dari pelayanan publik hingga klaim atas hak kelautan.
Kini bola panas itu ada di tangan Prabowo. Keputusan politiknya nanti tak hanya akan mempengaruhi peta wilayah, tapi juga menunjukkan bagaimana negara merespons ketegangan daerah yang tak selesai oleh administrasi teknokratik semata.***