“Aku Cuma Mau Hidup Enak, Salah?”
“Jadi nama kamu siapa?”
“Saya Mawar,” jawabnya, dengan senyum setengah enggan di pojok sebuah kafe mewah Jakarta Selatan. Duduk rapi dengan blazer coklat muda dan rambut diikat simpel, Mawar tak terlihat seperti stereotip yang mungkin muncul di kepala banyak orang saat kata “ani-ani” disebut.
“Aku dengar kamu punya sugar daddy?”
Mawar tak langsung menjawab. Ia menyeruput minumannya sebentar.
“Iya, saya enggak bohong. Ada. Tapi saya bukan perempuan sembarangan. Saya bukan cewek yang minta iPhone terus kabur. Saya tahu batas.”
“Tapi kenapa? Kamu perempuan cerdas, kamu bisa kerja di mana-mana.”
Mawar tertawa, getir.
“Pernah kerja kantoran. Digaji UMR, pulang naik ojek, ngekost sempit, dan tiap akhir bulan stres. Sekarang saya bisa ke Bali sebulan sekali. Salah?”
“Menurut kamu ini salah nggak?”
Dia menatap ke luar jendela.
“Saya enggak bangga, tapi saya juga enggak malu. Saya realistis. Dunia ini enggak adil. Saya cuma nyari celah yang bisa bikin saya hidup lebih manusiawi.”
Realita yang Tak Bisa Dipalingkan
Mawar bukan satu-satunya. Di balik kemilau lampu-lampu Jakarta, semakin banyak perempuan muda seperti Mawar yang memilih menjadi “ani-ani” atau sebutan halus lainnya: part-time girlfriend, sugar baby, atau sekadar cewek asuhan.
Fenomena ini bukan hanya soal moralitas, tapi lebih dalam: soal ekonomi, ketimpangan sosial, dan tekanan gaya hidup.
Banyak dari mereka bukan malas atau tak berpendidikan. Beberapa adalah mahasiswa, karyawan junior, bahkan pekerja kreatif. Tapi saat hidup hanya berkisar pada tagihan, harga sewa yang melonjak, dan keinginan untuk “naik kelas” secara sosial, maka pilihan menjadi “ani-ani” dianggap rasional.
“Daripada kerja keras tapi tetap miskin,” begitu argumen sebagian dari mereka.
Fenomena ini juga tak bisa dilepaskan dari budaya media sosial yang membentuk standar hidup artifisial.
Gaya hidup mewah ditampilkan sebagai ukuran sukses, dan FOMO (fear of missing out) jadi penyakit sosial yang menjangkiti siapa pun.
Maka, muncul keinginan instan: cantik → punya sugar daddy → hidup enak.
Di sisi lain, maraknya aplikasi dating dan platform privat membuka jalan bagi transaksi relasi yang tak lagi dibalut komitmen jangka panjang.
Semuanya serba cepat, serba kasual, dan seringkali tak kasat mata.
Namun ironisnya, di balik senyum dan unggahan bahagia, banyak Mawar yang hidup dalam ketakutan: ketahuan keluarga, viral, ditinggal sugar daddy, atau bahkan kekerasan relasi yang tak jarang terjadi.
Menimbang Ulang: Di Antara Hak Bertahan dan Nilai Hidup
Apakah menjadi ani-ani itu salah?
Pertanyaan ini tidak punya jawaban hitam-putih. Di satu sisi, setiap orang berhak atas pilihannya untuk bertahan hidup.
Di sisi lain, masyarakat punya tugas untuk menciptakan sistem ekonomi dan budaya yang tidak menjerumuskan seseorang ke pilihan ekstrem.
Kita perlu berhenti menilai dari permukaan, dan mulai memahami akar masalahnya: kemiskinan struktural, ekonomi yang timpang, gaya hidup yang menipu, dan rasa “tidak cukup” yang tak kunjung selesai.
Akar dari semua ini, seperti kata pepatah lama, bukan pada uang, melainkan cinta akan uang.
Dan penawarnya, satu yang sederhana tapi langka: contentment.
Bukan pasrah, bukan malas, tapi bisa berkata, “Aku cukup.”
***
Cerita Mawar bukan ajakan atau pembenaran. Ia adalah cermin dari masyarakat kita hari ini.
Mungkin yang dibutuhkan bukan hanya lebih banyak moral, tapi lebih banyak empati, kebijakan yang adil, dan ruang aman untuk bertumbuh tanpa harus menjual diri—dalam arti apa pun.
Karena setiap perempuan seharusnya bisa hidup dengan martabat, tanpa harus memilih antara kenyang dan harga diri.***





















