Filosofi Pohon Tumbang: Mengapa Kita Merayakan Kegaduhan, Melupakan Pertumbuhan Sunyi

- Redaksi

Rabu, 22 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

“Saat pohon tumbang, semua orang mendengar suaranya. Tapi saat pohon tumbuh, tak seorang pun mendengarnya.”

— PEPATAH KUNO PERSIA

PEPATAH kuno dari Persia ini menyuguhkan kritik tajam terhadap cara kita memandang kesuksesan dan kegagalan.

Ia adalah Filosofi Pohon yang mengajarkan bahwa pertumbuhan sering kali terjadi dalam senyap, tanpa sorotan atau tepuk tangan. Ketika sebuah pohon tumbang, suaranya memecah keheningan dan semua orang segera memperhatikan.

Namun, saat ia tumbuh—memperkuat akar, menambah daun, dan mendekati langit sedikit demi sedikit—hampir tidak ada yang sadar. Begitu pula dengan hidup manusia: kegagalan tampak mencolok dan dramatis, tetapi proses bertumbuh sering diabaikan.

Daya Tarik Dramatis dan Keheningan Proses

Di dunia yang serba cepat dan didominasi media sosial, kita cenderung memberi perhatian hanya pada momen yang dramatis: kejatuhan, skandal, atau kegagalan besar seseorang. Mengapa demikian?

Karena kegaduhan lebih mudah dijual dan lebih cepat diserap daripada proses yang membosankan. Tumbangnya pohon adalah berita; pertumbuhan akar adalah keheningan yang tak menarik.

Padahal, di balik setiap kejatuhan atau kesuksesan, ada perjalanan panjang yang diam-diam membentuk karakter dan ketahanan diri. Kualitas sejati seseorang tidak ditentukan oleh seberapa keras suara kegagalannya, melainkan oleh seberapa kuat dan konsisten ia membangun akarnya dalam keheningan.

Kunci Pertumbuhan: Konsistensi, Bukan Pengakuan

Jika kita hanya mencari tepuk tangan dan pengakuan, kita akan mudah kecewa. Pertumbuhan sejati tidak butuh sorotan, tetapi butuh konsistensi. Justru dalam keheningan itulah kita menemukan makna dan kekuatan sejati. Tanpa gangguan eksternal, kita bisa fokus membangun fondasi yang kokoh.

Kesabaran menjadi kunci utama dalam fase ini. Tidak ada pohon yang tumbuh semalam, begitu pula dengan diri kita. Jika kita hanya menunggu momen besar—pohon yang sudah matang dan berbuah—untuk merasa berharga, kita akan selalu hidup dalam ketidakpuasan.

Sebaliknya, jika kita belajar menghargai proses kecil yang tak terlihat—satu halaman buku yang dibaca, satu kebiasaan buruk yang ditinggalkan, satu kegagalan yang dianalisis—setiap hari menjadi kesempatan untuk bertumbuh. Inilah esensi dari kemajuan yang berkelanjutan.

Mengapa Manusia Lebih Tertarik pada Suara Tumbang?

Pertanyaan terakhir dari pepatah ini sangat mengena: Mengapa manusia lebih tertarik pada suara tumbangnya pohon daripada keheningan saat ia bertumbuh?

Jawabannya mungkin terletak pada sifat dasar kita. Kegagalan bersifat final dan mudah dicerna; ia memberi kita batas dan drama yang jelas. Sementara itu, pertumbuhan bersifat abstrak, lambat, dan menuntut refleksi.

Untuk melihat pertumbuhan, kita harus meluangkan waktu, memiliki kesabaran, dan mengubah perspektif—pekerjaan yang lebih sulit daripada sekadar menyaksikan reruntuhan.

Tantangannya bagi kita adalah: Berhentilah menunggu suara tumbangnya pohon (kegagalan orang lain atau diri sendiri) untuk menjadi pengingat.

Mulailah menghargai keheningan saat akar pribadi Anda sedang diperkuat. Karena di masa depan, kualitas hidup Anda akan lebih ditentukan oleh proses sunyi yang Anda jalani hari ini, daripada oleh seberapa keras suara kesuksesan yang Anda teriakan nanti.***

– Serial Filsafat –

Facebook Comments Box
Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Serigala di Pintu, Penggembala di Balik Senyum: Refleksi Kealpaan Manusia atas Ancaman Terdekat
Marsinah: Dari Lantai Pabrik ke Istana Negara — Kepahlawanan yang Lahir dari Upah Minimum
Seni Melepaskan Amarah: Menggali Pengertian dari Sudut Pandang Stoik Epictetus
Refleksi Hari Pahlawan 2025, Krisis Keteladanan di Negeri yang Lupa akan Pengorbanan
Mengenang Raharti: Ketika Keberanian Perempuan Melampaui Batas Peluru dan Waktu
Banjir Tahunan Eretan Wetan : Warga Bertahan Di Tengah Janji Yang Tak Kunjung Datang
Air Zam-zam yang Tercemar Darah Tetangga: Ironi Ibadah dan Kemanusiaan
Kerinduan Abadi Sang Seruling: Jalan Pulang Jiwa Menurut Rumi

Berita Terkait

Selasa, 11 November 2025 - 12:57 WIB

Serigala di Pintu, Penggembala di Balik Senyum: Refleksi Kealpaan Manusia atas Ancaman Terdekat

Senin, 10 November 2025 - 14:09 WIB

Marsinah: Dari Lantai Pabrik ke Istana Negara — Kepahlawanan yang Lahir dari Upah Minimum

Senin, 10 November 2025 - 12:47 WIB

Seni Melepaskan Amarah: Menggali Pengertian dari Sudut Pandang Stoik Epictetus

Senin, 10 November 2025 - 11:29 WIB

Refleksi Hari Pahlawan 2025, Krisis Keteladanan di Negeri yang Lupa akan Pengorbanan

Senin, 10 November 2025 - 10:54 WIB

Mengenang Raharti: Ketika Keberanian Perempuan Melampaui Batas Peluru dan Waktu

Berita Terbaru