Filter Semesta: Memaknai Filosofi “Air dan Minyak” Tan Malaka dalam Pencarian Jati Diri

- Redaksi

Minggu, 19 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Air berkumpul dengan air, minyak berkumpul dengan minyak, setiap orang berkumpul dengan tipe dan karakternya sendiri.”

— TAN MALAKA

HIDUP ini, pada dasarnya, adalah tentang frekuensi dan kesesuaian. Kita tidak bisa memaksa diri untuk cocok dengan semua orang, sebagaimana air tidak bisa menyatu dengan minyak.

Ini adalah sebuah hukum alam—sebuah kebenaran fundamental—yang dengan lugas diungkapkan oleh pemikir revolusioner Tan Malaka, yang bukan hanya mengulas politik, tetapi juga esensi terdalam dari interaksi manusia.

Daya Tarik Alami: Hukum Keselarasan Karakter

Dalam perjalanan hidup, kita akan menemukan bahwa setiap orang secara alami tertarik pada lingkungan dan manusia yang sejalan dengan nilai, pola pikir, serta energi yang mereka pancarkan.

Persahabatan, cinta, bahkan kerja sama profesional tidak terbentuk dari kebetulan, melainkan dari kesamaan karakter dan arah hidup.

Inilah alasan mengapa, tanpa sadar, kita cenderung mendekat kepada mereka yang membuat kita merasa “pulang”—bukan ke sebuah tempat, melainkan ke sebuah rasa. Rasa aman, rasa dimengerti, dan rasa dimiliki.

Logika Tan Malaka mengajarkan kita bahwa energi yang sama akan saling memanggil. Kita adalah apa yang kita pancarkan, dan getaran yang kita lepaskan akan menjadi magnet bagi orang-orang dengan getaran serupa.

Kejujuran Autentik: Harga Sebuah Penyesuaian Diri

Pentingnya kejujuran pada diri sendiri kini menjadi semakin genting. Sering kali, seseorang berusaha keras untuk diterima oleh lingkungan yang tidak sejiwa dengannya.

Ia berkompromi dengan nilai-nilai pribadi hanya agar tampak serupa dengan “kelompok yang populer” atau “jaringan yang menguntungkan.”

Namun, pada akhirnya, ketidakselarasan itu akan memunculkan kelelahan batin yang akut.

Hidup yang autentik menuntut keberanian untuk berkata: “Ini diriku, dengan segala kekurangan dan kelebihanku.

Ketika kita berani menjadi diri sendiri, semesta akan mempertemukan kita dengan orang-orang yang seirama—bukan karena kita mencarinya dengan paksa, tapi karena getaran yang kita pancarkan menarik mereka datang.

Membuang topeng adalah langkah pertama menuju hubungan yang bermakna.

Mencari Ketenteraman, Bukan Keseragaman

Hubungan yang sehat dan bermakna tumbuh dari kesamaan visi dan kejujuran hati. Dua orang yang berpikir dengan cara yang mirip tidak perlu banyak menjelaskan, karena mereka memahami satu sama lain tanpa banyak kata; ada keheningan batin yang saling memahami.

Sebaliknya, jika perbedaan nilai terlalu jauh, kedekatan yang dipaksakan hanya akan melahirkan luka dan kebisuan.

Maka, inti dari filosofi ini bukan soal siapa yang lebih baik, melainkan siapa yang lebih selaras. Dalam keheningan batin yang saling memahami, manusia menemukan ketenangan dan rasa memiliki yang sejati.

Ini adalah kunci untuk menjaga keseimbangan jiwa di tengah hiruk pikuk kehidupan sosial.

Antara Keterbukaan dan Jati Diri

Namun, kesadaran bahwa “air berkumpul dengan air” bukan berarti kita harus menutup diri dari perbedaan. Justru, dari pergesekan dengan perbedaan, kita belajar dan memperluas wawasan.

Yang perlu dijaga hanyalah keseimbangan: terbuka pada pandangan lain, tapi tidak kehilangan jati diri.

Terlalu sering menyesuaikan diri demi diterima hanya akan membuat kita kehilangan arah—menjadi bayangan buram dari diri kita yang sebenarnya.

Orang bijak tahu kapan harus berbaur, dan kapan harus menjaga jarak demi ketenangan jiwanya. Inilah seni memilih pertempuran dan memilih lingkungan.

Pada akhirnya, kehidupan ini adalah proses menemukan “lingkaran air” kita sendiri—mereka yang membuat kita tumbuh, bukan tenggelam.

Jangan takut kehilangan mereka yang tidak sefrekuensi, sebab setiap perpisahan hanyalah cara semesta menyiapkan ruang bagi pertemuan yang lebih sejati.

Sebab seperti air yang menemukan airnya, manusia sejati akan selalu menemukan rumahnya—di hati orang-orang yang sejiwa dan selaras.***

– Serial Filsafat –

Facebook Comments Box
Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Serigala di Pintu, Penggembala di Balik Senyum: Refleksi Kealpaan Manusia atas Ancaman Terdekat
Marsinah: Dari Lantai Pabrik ke Istana Negara — Kepahlawanan yang Lahir dari Upah Minimum
Seni Melepaskan Amarah: Menggali Pengertian dari Sudut Pandang Stoik Epictetus
Refleksi Hari Pahlawan 2025, Krisis Keteladanan di Negeri yang Lupa akan Pengorbanan
Mengenang Raharti: Ketika Keberanian Perempuan Melampaui Batas Peluru dan Waktu
Banjir Tahunan Eretan Wetan : Warga Bertahan Di Tengah Janji Yang Tak Kunjung Datang
Air Zam-zam yang Tercemar Darah Tetangga: Ironi Ibadah dan Kemanusiaan
Kerinduan Abadi Sang Seruling: Jalan Pulang Jiwa Menurut Rumi

Berita Terkait

Selasa, 11 November 2025 - 12:57 WIB

Serigala di Pintu, Penggembala di Balik Senyum: Refleksi Kealpaan Manusia atas Ancaman Terdekat

Senin, 10 November 2025 - 14:09 WIB

Marsinah: Dari Lantai Pabrik ke Istana Negara — Kepahlawanan yang Lahir dari Upah Minimum

Senin, 10 November 2025 - 12:47 WIB

Seni Melepaskan Amarah: Menggali Pengertian dari Sudut Pandang Stoik Epictetus

Senin, 10 November 2025 - 11:29 WIB

Refleksi Hari Pahlawan 2025, Krisis Keteladanan di Negeri yang Lupa akan Pengorbanan

Senin, 10 November 2025 - 10:54 WIB

Mengenang Raharti: Ketika Keberanian Perempuan Melampaui Batas Peluru dan Waktu

Berita Terbaru