Bandung, Mevin.ID — Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) menilai pendekatan Pemerintah Kota Bandung dalam menangani dua isu strategis—krisis sampah dan konflik pengelolaan Kebun Binatang Bandung—lebih mengedepankan kepentingan bisnis ketimbang hati nurani dan keberlanjutan lingkungan.
Koordinator Pusat FK3I, Dedi Kurniawan, menegaskan bahwa pola kebijakan Pemkot saat ini berpotensi membuka ruang penyimpangan hingga menambah beban masyarakat.
“Pendekatan Pemkot selalu menilai dari sisi bisnis, bukan hati nurani dan pengabdian,” ujar Dedi kepada Mevin.ID, Sabtu (1/11/2025).
Isu Sampah: Pilihan Insinerator Dinilai “Solusi Palsu”
Dedi menyebut rencana pemanfaatan sedikitnya 10 insinerator di Kota Bandung bakal menimbulkan implikasi besar, baik lingkungan maupun biaya.
“Insinerator akan membebankan tipping fee kepada masyarakat dan membuka peluang korupsi, nepotisme, serta pelanggaran lain melalui kerja sama pihak ketiga,” tegasnya.
Ia juga menyinggung situasi Pemkot yang tengah disorot pasca kasus korupsi Wakil Wali Kota Bandung, sehingga menurutnya keputusan strategis harus lebih transparan dan akuntabel.
Bandung Zoo: Penyegelan Dinilai Abaikan Nasib Satwa dan Pekerja
FK3I juga menyoroti konflik pengelolaan Bandung Zoo yang belum menemui titik terang selama hampir tiga bulan. Dedi mengatakan, alih-alih menyelesaikan persoalan, Pemkot justru dianggap turut masuk dalam lingkaran konflik.
“Penyegelan dilakukan tanpa memikirkan ratusan satwa titipan negara, pekerja, pelaku usaha kecil, serta para seniman yang menggantungkan hidup di kawasan itu,” ucapnya.
Bandung Zoo bukan hanya destinasi wisata, lanjut Dedi, melainkan kawasan konservasi, ruang sejarah, dan penyangga ekologis Kota Bandung.
Ia mengkritik sikap Pemkot yang meminta warga tidak berkunjung setelah penyegelan dibuka.
“Itu keputusan gegabah dan kekanak-kanakan. Kalau soal keamanan, Pemkot bisa koordinasi dengan aparat,” katanya.
Serahkan ke Pemerintah Pusat Sementara
Menurut Dedi, Pemkot tak perlu mengambil alih penuh pengelolaan atau membentuk berbagai tim transisi.
“Kalau merasa sebagai pemilik lahan, ya nolkan saja sewanya. Biarkan kementerian membidangi konservasi yang mengelola sementara. Ada serikat karyawan dan keeper satwa yang sudah setia bekerja,” tuturnya.
Pengelolaan sementara, kata Dedi, bisa tetap melapor kepada dua yayasan yang berkonflik dan Pemkot.
“Gunakan Hati Nurani, Bukan Seragam Kepentingan”
Dedi menekankan, penyelesaian dua persoalan besar ini akan jauh lebih mudah jika pemerintah menempatkan aspek kemanusiaan, lingkungan, dan keberlanjutan sebagai prioritas.
“Lihat persoalan dengan hati nurani. Bukan atas dasar keserakahan bisnis, tekanan politik, atau kepentingan lain,” ujarnya menutup.***





















