Karawang, Mevin.ID – Di usia 58 tahun, seharusnya Yusuf Saputra bisa menikmati masa tenang bersama keluarganya. Bermain dengan cucu, merawat tanaman di pekarangan rumah, atau sekadar duduk santai bersama tetangga.
Tapi hidup tak selalu seperti seharusnya. Hari ini, Yusuf duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Karawang, hanya karena satu hal: mengkritik kepala desa.
Kritik itu ia sampaikan bukan lewat makian di media sosial, bukan lewat selebaran gelap, tapi melalui media massa—saluran yang seharusnya sah dalam iklim demokrasi. Isinya? Keprihatinannya soal pengelolaan limbah di desanya yang dinilai tidak transparan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, alih-alih dijawab atau diklarifikasi lewat Dewan Pers seperti lazimnya, kritik itu malah dibalas dengan laporan ke polisi. Kepala desa yang merasa namanya dicemarkan, menggugat Yusuf dengan pasal pencemaran nama baik.
@informasi_karawangYusup Supriatna (58 tahun), seorang warga Karawang dilaporkan oleh kepala desa gara-gara mengkritik terkait transparansi pengelolaan limbah. Padahal Yusup melontarkan kritiknya tersebut melalui media massa, yang mana jika ada pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan, seyogyanya melapor ke Dewan Pers. Namun kepala desa malah melaporkan warganya ke Polres Karawang. Kini Yusup pun harus diadili di Pengadilan Negeri (PN) Karawang atas dugaan pencemaran nama baik sang kepala desa.♬ suara asli – INFORMASI KARAWANG
“Saya Hanya Ingin Suara Warga Didengar”
Dalam sidang yang digelar di PN Karawang, Yusuf berdiri tenang. Raut wajahnya tak menunjukkan amarah, hanya lelah yang tampak di matanya. Ia mengaku tak menyesal.
“Saya kuat dengan masyarakat, saya cuma ingin lingkungan kami lebih baik. Kalau saya mengkritik untuk kepentingan umum, apakah itu salah?” ucap Yusuf dengan suara bergetar.
Yusuf adalah suara banyak warga yang sering kali tak terdengar. Ia mungkin bukan pejabat, bukan pengusaha, apalagi tokoh politik.
Tapi di antara tetangga dan sesama warga Karawang, Yusuf dikenal berani bersuara, terutama bila menyangkut soal lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Mahasiswa Berdiri di Belakang Yusuf
Kisah Yusuf tak luput dari perhatian publik. Di sidang lanjutan, sejumlah mahasiswa datang memberi dukungan. Mereka membawa spanduk kecil bertuliskan: “Demokrasi Mati di Desa Kami.”
“Kalau kritik dibungkam dengan pasal pencemaran nama baik, lalu bagaimana rakyat kecil bisa menyampaikan aspirasi?” ujar seorang mahasiswa di luar ruang sidang.
Harapan pada Majelis Hakim
Kini, semua bergantung pada palu keadilan. Yusuf hanya berharap para hakim bisa melihat kasus ini dengan jernih, bahwa kritik bukan kejahatan, dan bahwa demokrasi tidak bisa hidup tanpa suara seperti miliknya.
“Saya hanya berharap demokrasi bisa tetap hidup. Karena kalau warga tidak boleh bicara, maka negara ini sedang sakit,” tutup Yusuf lirih.
Kasus Yusuf adalah potret kecil dari masalah besar: kebebasan berpendapat di level akar rumput.
Jika kritik soal limbah bisa berujung di pengadilan, apa kabar suara-suara lain yang tak punya akses ke media? Demokrasi bukan hanya soal pemilu lima tahunan, tapi soal hak setiap warga untuk bicara—tanpa takut dibungkam.***