Jakarta, Mevin.ID — Pemerintah berencana merevisi garis kemiskinan nasional. Jika Presiden Prabowo menyetujui, angka kemiskinan, Indonesia bisa melonjak drastis—bukan karena semakin banyak rakyat jatuh miskin, tetapi karena cara menghitungnya akan disesuaikan dengan standar internasional yang lebih ketat.
Hal ini disampaikan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, dalam Konferensi Internasional Infrastruktur 2025 di Jakarta Convention Center, Kamis (12/6).
“Jadi jangan kaget-kaget,” kata Luhut, merujuk pada angka kemiskinan baru yang tengah dikaji bersama Badan Pusat Statistik (BPS). “Kita mau angka yang lebih mencerminkan kenyataan.”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari US$6,85 ke US$8,30: Siapa yang Tergolong Miskin Kini?
Bank Dunia, pada Mei lalu, merevisi standar garis kemiskinan global berdasarkan pembaruan paritas daya beli (Purchasing Power Parity/PPP) tahun 2021. Untuk negara seperti Indonesia—yang baru masuk kategori upper-middle income country—garis kemiskinan naik dari US$6,85 menjadi US$8,30 per hari per orang.
Artinya, seseorang yang dulunya dianggap “tidak miskin” dengan pengeluaran US$7 per hari, kini bisa masuk dalam kelompok miskin.
Dampaknya? Jumlah orang miskin di Indonesia melonjak menjadi 194,7 juta jiwa atau 68,3 persen dari total penduduk (285,1 juta pada 2024), menurut perhitungan versi terbaru Bank Dunia.
Padahal, jika menggunakan standar lama (US$6,85), tingkat kemiskinan “hanya” 60,3 persen. Itu selisih hampir 23 juta jiwa.
Angka yang Lebih Jujur, Tapi Menyakitkan
Menurut Luhut, revisi ini penting agar kebijakan penanggulangan kemiskinan lebih tepat sasaran. “Kalau kita pakai standar lama terus, nanti terlihat angka kemiskinan turun, padahal realitanya belum tentu begitu,” ujarnya.
Namun, BPS tetap menekankan bahwa angka kemiskinan versi Bank Dunia belum serta-merta bisa diadopsi penuh. Pasalnya, walau Indonesia masuk kelas negara menengah atas, GNI per kapita-nya masih nyaris di batas bawah, yaitu US$4.870, hanya sedikit di atas ambang UMIC yang dimulai dari US$4.516.
Refleksi: Apakah Kita Siap Menerima Kebenaran?
Jika revisi ini diberlakukan, akan terbuka lebar kenyataan pahit: bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih berjuang hidup di bawah standar yang layak. Bahwa angka kemiskinan yang selama ini diumumkan, bisa jadi hanya menggambarkan “permukaan”.
Namun, seperti yang disampaikan Luhut, “kalau Presiden setuju, nanti angkanya akan lebih mencerminkan kenyataan.”
Dan dari kenyataan itulah, mungkin, perbaikan bisa benar-benar dimulai.***