BANYAK PIHAK —terutama dari kalangan konservatif—mengernyitkan dahi menyaksikan gaya kepemimpinan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Mereka menilai pendekatannya terlalu “pencitraan”, terlalu sering muncul di media sosial, terlalu banyak blusukan yang dipertontonkan.
Namun di balik itu semua, rakyat justru melihat hal yang berbeda: sebuah kepemimpinan yang terbuka, dekat, dan nyata dirasakan.
Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, masyarakat membutuhkan pemimpin yang hadir bukan hanya saat kampanye, tapi juga di keseharian mereka. Masyarakat ingin tahu, apakah pemimpinnya benar-benar bekerja untuk mereka atau hanya sibuk dalam lingkaran kekuasaan dan golongan sempit.
Dalam konteks inilah, gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi menjadi relevan dan, bahkan, patut diapresiasi.
Kehadiran Dedi di tengah masyarakat, yang nyaris selalu terdokumentasi dalam konten media sosial, sejatinya bukanlah sekadar tontonan. Itu adalah bentuk komunikasi publik. Transparansi. Sebuah jendela yang dibuka lebar agar rakyat bisa mengawasi, menilai, dan bahkan mengoreksi jika perlu. Di sinilah letak pentingnya: bukan pencitraan, tapi pertanggungjawaban.
Justru pemimpin yang tidak terlihat, yang tertutup, yang enggan hadir di tengah rakyat dan tidak menunjukkan apa-apa, itulah yang patut dipertanyakan.
Pemimpin seperti Dedi Mulyadi hadir dengan cara yang berbeda, membawa pendekatan baru yang lebih membumi—dan ini yang dibutuhkan oleh masyarakat hari ini.
Tentu saja, akan selalu ada suara sumbang dari pihak-pihak yang tidak nyaman dengan gaya baru ini. Tapi suara rakyat berbicara lebih lantang: mereka ingin pemimpin yang bisa disentuh, bisa diajak bicara, dan bisa dilihat kerja nyatanya—bukan hanya janji dalam baliho.
Gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi bukan sekadar gaya. Itu adalah substansi yang dibungkus dengan pendekatan kekinian. Bukan pencitraan murahan, melainkan bentuk modern dari akuntabilitas publik.
Dan di tengah krisis kepercayaan terhadap banyak pejabat, pendekatan seperti inilah yang bisa mengembalikan harapan rakyat terhadap pemimpinnya.
Makanya, banyak masyarakat di luar Jawa Barat yang iri dengan warga Jabar yang memiliki pemimpin seperti Dedi Mulyadi.
Bahkan tak sedikit yang terang-terangan mengaku rindu pemimpin seperti dia—pemimpin yang memosisikan dirinya di pihak rakyat, bukan di atas rakyat.
Sampai detik ini, saya sebagai warga Jawa Barat merasa benar-benar memiliki sosok pemimpin yang bekerja dengan hati, meski dengan segala kekurangannya. Semoga saja gaya dan pola kepemimpinan seperti ini bisa terus dipertahankan—karena inilah harapan rakyat yang sesungguhnya.***
Penulis : Bar Bernad





















