Sagaing, Myanmar – “Setiap kali angin bertiup, bau mayat memenuhi udara,” ungkap Thar Nge, seorang warga Sagaing—kota terdekat dengan episentrum gempa berkekuatan 7,7 skala Richter yang mengguncang Myanmar pada hari Jumat.
“Lebih banyak jenazah ditemukan dibandingkan dengan korban selamat,” lanjutnya seperti dikutip dari Al Jazeera pada Minggu.
Tim penyelamat dari Mandalay baru tiba di Sagaing sehari sebelumnya setelah Jembatan Yadanabon, yang membentang di atas Sungai Irrawaddy, akhirnya dibuka kembali.
Jembatan Ava yang berusia sekitar 90 tahun, peninggalan kolonial Inggris, runtuh ketika gempa mengguncang lebih dari 48 jam lalu.
Sedikitnya 1.700 orang tewas dan lebih dari 3.400 orang terluka—angka yang kemungkinan terus bertambah seiring berjalannya waktu dan meningkatnya kesadaran akan dampak bencana ini.
“Tim penyelamat dari Mandalay tidak dapat segera mencapai kami karena jembatan runtuh. Mereka baru tiba hari ini,” ujar Thar Nge, memandang reruntuhan kota dan mengungkapkan keputusasaannya dalam mencari anaknya yang masih hilang.
Banyak warga di Sagaing telah kehilangan orang yang mereka cintai. Hingga saat ini, sekitar 90 jenazah telah ditemukan, sementara hanya 36 orang yang berhasil diselamatkan dari reruntuhan rumah, tempat usaha, dan kuil Buddha.
“Banyak biksu dan biarawati terjebak di bawah reruntuhan bangunan, termasuk biara dan tempat ibadah,” tambahnya.
Fokus pencarian telah bergeser dari upaya penyelamatan korban selamat menjadi pengambilan dan penguburan jenazah. Bau mayat membusuk tercium di mana-mana.
Di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar yang berjarak 22 km di sebelah timur Sagaing, kurangnya peralatan khusus memaksa petugas penyelamat dan keluarga korban menggali dengan tangan kosong untuk mencari korban selamat.
Di tengah keterbatasan bantuan, Ko Lin Maw hanya bisa menunggu di rumahnya yang roboh di Mandalay.
“Ibu saya dan kedua anak saya masih terjebak di bawah reruntuhan,” katanya seperti dikutip dari Al Jazeera.
Namun, dengan keterbatasan sinyal ponsel, tim penyelamat memprioritaskan lokasi bencana yang lebih besar, di mana lebih banyak orang diyakini tertimbun.
“Jumlah petugas penyelamat jelas tidak cukup,” ujarnya, menyesalkan bahwa 48 jam telah berlalu sejak gempa terjadi, namun bantuan yang memadai belum juga tiba.
Htet Wai, seorang petugas pemadam kebakaran dari Yangon, baru tiba di Mandalay pada Minggu pagi.
Dengan komunikasi yang terhambat, timnya bergantung pada informasi dari Facebook untuk mengetahui lokasi yang paling membutuhkan bantuan.
“Begitu kami tiba, kami langsung menuju lokasi yang kami temukan secara daring,” katanya. Namun, pencarian pertama mereka hanya menemukan jenazah.
Meskipun situasi semakin memburuk, Htet Wai dan timnya tetap berharap. “Dengan suhu setinggi ini, saya khawatir kami akan menemukan lebih banyak mayat daripada korban selamat. Namun, kami akan berusaha menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa,” ujarnya.
Selain tenaga penyelamat yang lebih terampil dan alat berat untuk membersihkan puing-puing, kantong mayat kini menjadi kebutuhan mendesak.
Diperkirakan suhu di wilayah tengah Myanmar bisa mencapai lebih dari 40 derajat Celsius dalam beberapa hari ke depan, mempercepat proses pembusukan jenazah yang masih terperangkap di bawah bangunan runtuh.
“Mayat yang kami temukan sudah membusuk. Sungguh menyedihkan,” kata Htet Wai. “Kami tidak bisa menangani ini sendirian.”***
Sumber Berita: Al Jazeera




















