Generasi Z: Harapan Baru untuk Bumi dan Keadilan Sosial

- Redaksi

Senin, 27 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dadang Sudardja, Ketua LPBI NU Jawa Barat; Ketua Dewan Nasional WALHI 2012–2016; Direktur Yayasan Sahabat Nusantara, Anggota Dewan Sumberdaya Air Jawa Barat, Pegiat ligkungan dan kebencanaan.

Dadang Sudardja, Ketua LPBI NU Jawa Barat; Ketua Dewan Nasional WALHI 2012–2016; Direktur Yayasan Sahabat Nusantara, Anggota Dewan Sumberdaya Air Jawa Barat, Pegiat ligkungan dan kebencanaan.

KONON kabarnya, menurut para ahli, masa depan Generasi Z akan sangat dinamis dan transformatif. Mereka tumbuh di era teknologi digital, keterbukaan informasi, dan konektivitas global.

Namun di balik layar gawai dan media sosial, generasi ini menyimpan potensi besar: kepedulian sosial dan lingkungan yang mendalam.

Aktivisme Sosial di Era Digital

Generasi Z dikenal sebagai generasi yang melek isu dan cepat bereaksi terhadap persoalan sosial dan lingkungan.

Menurut laporan Deloitte Global 2024 Gen Z and Millennial Survey, lebih dari 70% Gen Z di seluruh dunia menyatakan bahwa mereka secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan sosial, kampanye digital, atau gerakan lingkungan.

Mereka menggunakan media sosial bukan sekadar untuk hiburan, tetapi juga sebagai alat perjuangan dan advokasi.

Gerakan global seperti Fridays for Future yang dimotori Greta Thunberg hanyalah satu contoh dari gelombang besar kesadaran lingkungan di kalangan muda.

Di Indonesia, muncul berbagai inisiatif serupa — mulai dari EcoRanger di Banyuwangi, Bye Bye Plastic Bags di Bali, hingga Gerakan Sekolah Sungai di Yogyakarta.

Mereka menunjukkan bahwa aktivisme lingkungan bukan lagi monopoli LSM besar, melainkan bisa dimulai dari aksi kecil anak muda di komunitas lokal.

Dari Kesadaran ke Aksi

Berbeda dengan generasi sebelumnya, Generasi Z tumbuh dengan kesadaran bahwa krisis iklim, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan adalah kenyataan yang harus mereka hadapi.

Mereka tidak ingin menjadi penonton. Survei Pew Research Center (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 65% Generasi Z percaya bahwa pemerintah dan sektor swasta belum cukup serius menangani perubahan iklim, sehingga mereka memilih berbuat sendiri — dengan gaya hidup ramah lingkungan, konsumsi berkelanjutan, hingga dukungan terhadap produk lokal dan etis.

Bagi mereka, isu sosial dan lingkungan bukan sekadar “tema diskusi”, melainkan bagian dari identitas moral dan gaya hidup.

Mereka aktif menjadi relawan, membangun startup hijau, mengembangkan aplikasi pengelolaan sampah, hingga mempromosikan keadilan sosial melalui konten digital.

Tantangan dan Kontradiksi

Namun, kepedulian ini tidak selalu berjalan mulus. Banyak anak muda menghadapi tekanan psikologis dan ekonomi yang berat.

Dunia kerja yang kompetitif, biaya hidup tinggi, dan krisis iklim yang semakin nyata menciptakan eco-anxiety — rasa cemas terhadap masa depan bumi. Selain itu, sebagian aktivisme mereka kerap dianggap sebatas “aktivisme digital” tanpa aksi nyata di lapangan.

Pandangan seperti ini justru bisa melemahkan semangat generasi muda yang sedang mencari bentuk kontribusi terbaiknya.

Padahal, di balik unggahan media sosial dan tagar yang viral, tersimpan niat tulus untuk berbuat sesuatu, meski dalam skala kecil. Gerakan ini perlu didukung, bukan diremehkan.

Membangun Ekosistem Kepedulian

Pemerintah dan organisasi  sipil perlu memberi ruang dan dukungan yang lebih nyata bagi Generasi Z.

Sekolah dan kampus tidak hanya berperan menyiapkan tenaga kerja, tetapi juga mendidik warga dunia yang peduli dan bertanggung jawab.

Kurikulum harus memberi ruang bagi kegiatan social, proyek lingkungan, dan pembelajaran berbasis aksi nyata (service learning).

Demikian pula, dunia usaha harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai baru ini. Generasi Z lebih menghargai perusahaan yang menerapkan prinsip keberlanjutan (sustainability), memperhatikan kesejahteraan karyawan, dan peduli terhadap dampak sosial.

Dunia kerja masa depan akan dimenangkan oleh perusahaan yang bukan hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga beretika secara sosial dan ekologis.

***

Generasi Z adalah generasi transformatif. Mereka tumbuh di tengah krisis global, namun membawa energi besar untuk memperbaiki dunia.

Kepedulian mereka terhadap isu sosial dan lingkungan adalah tanda bahwa harapan belum pupus.

Jika diberi ruang dan dukungan, Generasi Z dapat menjadi penjaga masa depan bumi dan kemanusiaan, bukan karena mereka diminta, tetapi karena mereka sadar: masa depan planet ini adalah masa depan mereka sendiri.

***

Selamat Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2025, semoga generasi muda bisa tumbuh menjadi generasi yang kritis, kreatif dan inovatif, siap menhadapai perubahan dan tantangan Zaman.***

Dadang Sudardja, Ketua LPBI NU Jawa Barat; Ketua Dewan Nasional WALHI 2012–2016; Direktur Yayasan Sahabat Nusantara, Anggota Dewan Sumberdaya Air Jawa Barat, Pegiat ligkungan dan kebencanaan.

Daftar Pustaka

1. Deloitte Global. 2024 Gen Z and Millennial Survey. Deloitte Insights, 2024.

2. Pew Research Center. Gen Z, Millennials Stand Out for Climate Change Activism, Social Views. 2023.

3. World Economic Forum. The Future of Jobs Report 2024. WEF, Geneva.

4. United Nations Development Programme (UNDP). Youth and Climate Change: Global Youth Call for Action. 2023.

5. WALHI. Laporan Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia 2023.

6. Thunberg, Greta. No One Is Too Small to Make a Difference. Penguin Books, 2019.

Facebook Comments Box

Penulis : Dadang Sudardja

Follow WhatsApp Channel mevin.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Pendidikan Kebencanaan Sejak Usia Dini: Belajar dari Jepang, Menyelamatkan Generasi Indonesia
Inggit Garnasih: Perempuan Sunyi yang Menopang Lahirnya Kemerdekaan
Agama dan Dosa Atas Nama Sakral: Sebuah Refleksi Kritis dari Kartini
Bullying di Indonesia: Saat Satu Nyawa Mengungkap Luka Nasional yang Lebih Dalam
Longsor Cilacap, Pelajaran Berharga Soal Literasi Kebencanaan
Sandiwara Keadilan: Refleksi Ironi Korup dalam Sistem Kekuasaan
Harga Diri dan Kebebasan dalam Kesendirian: Menyelami Kebijaksanaan Socrates
Ketika Kota Bicara Lewat Gunungan Sampah

Berita Terkait

Senin, 17 November 2025 - 14:08 WIB

Pendidikan Kebencanaan Sejak Usia Dini: Belajar dari Jepang, Menyelamatkan Generasi Indonesia

Senin, 17 November 2025 - 13:26 WIB

Inggit Garnasih: Perempuan Sunyi yang Menopang Lahirnya Kemerdekaan

Senin, 17 November 2025 - 12:36 WIB

Agama dan Dosa Atas Nama Sakral: Sebuah Refleksi Kritis dari Kartini

Minggu, 16 November 2025 - 14:39 WIB

Bullying di Indonesia: Saat Satu Nyawa Mengungkap Luka Nasional yang Lebih Dalam

Minggu, 16 November 2025 - 14:13 WIB

Longsor Cilacap, Pelajaran Berharga Soal Literasi Kebencanaan

Berita Terbaru